Wednesday, February 5, 2014

Satu Cinta Empat Tawa

0 comments

Ketika merapikan folder di laptop dan mendelete file-file yang sudah tidak penting, saya menemukan cerpen-cerpen yang saya buat dulu. Salah satu cerpen yang saya buat berjudul "Satu Cinta Empat Tawa" yang akan saya posting kali ini. Awal mula membuat cerpen ini adalah untuk perlombaan. Saya sendiri lupa, cerpen ini sempat saya kirimkan atau tidak. hehe.. Kalau tidak salah, saya membuatnya sekitar tahun 2012 dalam waktu 2 jam. Sebenarnya ceritanya tidak spesial dan mungkin sedikit memaksa. Selain itu, masih banyak kata-kata yang salah eja, maupun tidak tepat penempatannya, tapi saya tidak ingin mengeditnya karena ingin menunjukkan hasil tulisan saya dua tahun yang lalu.
Langsung saja...

Satu Cinta Empat Tawa
Cinta.. Jika itu adalah satu kata untuk mengungkapkan rasa sayang untuk seseorang atau beberapa orang yang membuat kita bahagia ketika berada dekat dengan mereka. Aku pernah merasakannya. Aku mencintai seseorang, aku mencintai sahabatku. Akan tetapi, jika cinta itu diutarakan untuk keluargaku. Sayang sekali, aku tidak pernah merasakannya sampai saat ini…
“Dey, kamu semester ini dapat IP[1] berapa?” Ucap ibuku. “3,4 bu”  Aku tahu apa yang akan diucapkan ibu selanjutnya. “Kok, tidak berbeda jauh dari semester kemarin.” “Segitu IP Deyza naik 0,3 bu.” “Yah tapi kan, kalo naiknya lebih besar lagi, itu lebih baik. Anak teman ibu dapet IP sampai 3,8 tuh.” “Kalau begitu, bagaimana kalau anak teman ibu itu, ibu angkat saja jadi anak. menggantikan posisi Deyza?” Tanpa melihat reaksi ibu, aku berlalu menuju kamar. Sudah malas diam diruang keluarga mendengarkan ocehan ibuku lebih lama. Ibuku bukanlah tipe orang yang mudah marah, bahkan jarang sekali aku melihatnya marah. Ia ibu yang sangat baik, sayang kekurangannya hanya satu. Ibuku selalu menginginkan prestasi anaknya yang tinggi, dan sempurna. Yang membuatku semakin kesal adalah Ia selalu membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Seandainya aku memiliki ibu yang selalu mendukung dan bangga atas usaha kerasku untuk belajar..
Sore harinya, suara adikku, Sera membangunkanku. “Dey, bangun, bangun, banguuun!” Ucapnya sambil mengguncang-guncang tubuhku. “Apaan sih, tidak usah teriak-teriak. Telingaku sakit!” “Teriak-teriak saja kamu susah bangun, apalagi dibangunkan dengan lembut. Eh aku pinjam uang seratus ribu dong Dey.” “Kenapa minta sama aku? memangnya kamu pikir aku ini Bank, minta sama ayah.” “Jangan pelit sama adik sendiri Dey.. Aku tidak berani minta duit langsung ke ayah. Kalau ke ibu, tidak mungkin…yang ada aku malah dimarahi.” “Aku tak peduli. Lagipula pasti uang itu kamu gunakan untuk pergi main. O iya, sejak kapan kamu jadi adikku? bukannya kamu selalu memanggil  namaku saja. hoho” Aku kembali menarik selimut.  “Huh! Dasar, nenek pelit!” “Heh! bicara sembarangan. Kamu semakin hari semakin menyebalkan. Aku benci punya adik sepertimu!” Sera terdiam sejenak, kemudian berkata dengan nada suara yang sangat dingin. “Memangnya kamu saja, sekarang aku jadi malas punya kakak sepertimu.” Ia pun keluar membanting pintu. Tatapannya tadi sedikit aneh, apa mungkin ucapanku tadi keterlaluan? Ah sudahlah salahnya sendiri menggangguku. Perbedaan umurku dengannya hanya satu tahun, tapi dia selalu bertindak seakan-akan kami seumuran. Setiap hari kami selalu bertengkar dikarenakan hal-hal yang sepele. Aku tidak mempermasalahkan dia memanggilku tanpa panggilan kakak, yang paling aku benci dia selalu menghina dan menjahiliku. Seandainya aku memiliki adik yang menghormati dan menyayangiku…
Malam harinya, Kami makan bersama di meja makan. Ayah, Ibu, Aku, dan Sera. Kami berkumpul lengkap hanya ketika makan malam dan akhir pekan. Setiap hari ayah berangkat kerja pagi-pagi sekali dan baru tiba di rumah ketika sudah malam. Ayahku bukan tipe orang yang banyak berbicara, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ibu. Entah bagaimana akhirnya mereka bisa menjadi pasangan suami istri. Jarang sekali aku berbicara dengan ayah, tanpa terlebih dahulu ayah yang membuka pembicaraan. Aku merasa segan padanya. Dari kecil aku dan Sera lebih dekat dengan ibu. Sera yang sehari-hari sangat cerewet, jika sudah berhadapan dengan ayah akan diam seribu bahasa. Seandainya aku punya ayah yang mau meluangkan waktunya untukku dan sering-sering mengajakku berbicara…
***
“Kok kamu tertawa sih Nes..” “Habisnya lucu, setiap curhat tidak jauh-jauh mengeluhkan keluargamu. Sekarang cerita tentang adikmu.” “Lucu apanya, aku sangat benci dia.. Seandainya aku mempunyai adik seperti adikmu. manis, baik, dan yang pasti sayang pada kakaknya.” “Perbedaan umurku dengan adikku kan lumayan jauh. Jangan dibandingkan dengan adikmu Dey. Masing-masing orang memiliki sifat yang berbeda. Lagipula kalau menurutku, Sera itu hanya kasar dimulut. Di hatinya dia sangat menyayangimu.” “Hah? Sangat tidak mungkin.” “Segala kemungkinan itu selalu ada loh Dey. Eh iya Dey, sore ini jadi ngerjain tugas dirumahku?” “Jadi Nes.” “Kamu mau pulang ke rumah terlebih dahulu atau langsung ke rumahku?” “Langsung saja ke rumahmu Nes. Aku sudah membawa laptop kok.” “Sip kalo begitu.”
Sore harinya, aku sudah berada di rumah Nesa. Ibunya menyambut kedatangan kami. “eh, ada Deyza. Apa kabar Dey? lama tak bertemu.” “Iya tante,  keadaanku baik.“ “Ma, kita langsung ke atas ya, mau ngerjain tugas.” “Permisi tante.” “Iya.” Jawab Ibu Nesa. Setengah jam kemudian, ibu Nesa membawakan kue ke kamar. “Tidak usah repot-repot tante.” “Tidak merepotkan kok. Kebetulan tadi tante buat bolu.” “Ayo, kalian makan dulu. Baru lanjut lagi belajarnya.” “Iya tante. terima kasih banyak.” “Ngomong-ngomong kalo tante boleh tahu, kamu dapat IP berapa semester kemarin Dey.” “IP Deyza besar ma” Sahut Nesa sambil mengunyah kue. “Nesa bohong tante, IP-ku masih lebih kecil dari Nesa. 3,4 tan.” “Wah itu sih besar, Hanya berbeda 0,1 dari Nesa. Hebat.. Semakin semangat belajarnya ya.” “Iya tan.” Aku sangat bahagia tante memujiku. “Baiklah, tante tidak mau mengganggu lebih lama belajar kalian. tante turun ya. Kalau bolunya sudah habis, ambil lagi saja ke lantai bawah ya Nes.” “Iya, ma.” Jawab Nesa.
“Nes, ibu kamu baik banget ya. Ingin sekali aku mempunyai ibu seperti ibumu” “Hahaha, kamu ada-ada saja Dey. Tadi ingin mempunyai adik seperti adikku, sekarang ingin mempunyai ibu, seperti ibuku. Nanti lama-lama kamu ingin mempunyai ayah seperti ayahku juga Dey.” “Mungkin..” Jawabku menanggapi serius ucapan Nesa. “Astaga Dey, kamu tidak boleh seperti itu.. Walaupun terkadang menurutmu, keluargamu itu menyebalkan, tetapi sebenernya mereka sangat menyayangimu.” “Tidak mungkin..” “Dey, kamu harusnya bersyukur memiliki keluarga yang lengkap. Lagipula kalau kamu merasa ada tindakan mereka yang menyakitimu. Berhentilah mengeluh dan berandai-andai. Katakanlah secara langsung dengan cara yang baik. Aku yakin mereka akan mengerti. Keadaan diluar diri kita tidak akan berubah kalau tidak dimulai dari diri kita sendiri Dey.” Aku terdiam beberapa saat merenungi perkataan Nesa. “Aduh Dey maaf ya kalau kata-kataku ini terkesan menggurui.” “Tidak apa-apa Nes, makasih atas sarannya.”
***
“Dey, kamu kemana saja hari ini? masa iya kuliah sampai malam seperti ini.” Ucap ibu. “Aku habis mengerjakan tugas di rumah Nesa bu. Tadi aku sudah telepon ke rumah, tapi tidak ada yang angkat.” “Ooh, Ya sudah kamu makan sana. Ibu sudah masak sop ayam.” Tanpa menaruh tas terlebih dahulu ke kamar, aku langsung menuju meja makan. “hmm. Loh mana sopnya bu?.” “Memangnya tidak ada? yang dimangkuk biru.” “Mangkuk biru sih ada, tapi tidak ada isinya bu.” “Wah, sepertinya adikmu menghabiskannya. Sera kamu menghabiskan sop ayam buat kakakmu ya?.” Ucap ibu dengan suara nyaring. “Iya bu, habis aku sangat lapar.” Teriak Sera dari lantai atas. Padahal nasihat Nesa tadi sudah mulai kupertimbangkan, tetapi tindakan Sera kali ini membuatku malas berbaikan dengannya. Setiap hari Sera selalu membuat masalah. Sudah pulang dengan keadaan sangat capai, dia malah membuatku jengkel. “Ya sudah ibu buatkan telor dadar saja ya.” “Hmm” Jawabku. Apa boleh buat, daripada perutku kelaparan dan tidak bisa tidur.
Ruang makan kami terletak dibelakang ruang keluarga tanpa ada penghalang tembok, sehingga aku masih bisa menonton tv dari meja makan. Ibu sedang duduk di sofa menonton berita. Berita yang ditontonnya tentang prestasi mahasiswa yang menciptakan robot. “Dey, lihat tuh. Mereka hebat sekali. Menciptakan robot.” “Mereka itu anak teknik bu. Masa iya Dey yang dari jurusan komunikasi bikin robot juga.” Gerutuku.  “Yah tidak harus robot juga, misalkan kamu bikin sebuah buku. Yang terpenting kamu menyumbangkan sesuatu dibidangmu nak.” “Iya, nanti ya bu. Dey sudah selesai makan, sekarang mau tidur. Selamat malam bu.” Malas mendengar lebih lama ceramah ibu. Sekarang Ibu yang membuatku semakin jengkel. Semua nasihat Nesa hilang dari kepalaku.
***
Sudah dua minggu aku mendiamkan Sera semenjak kejadian ia menghabiskan sop ayamku. Saat dia datang ke kamar dan menjahiliku, aku tidak membalas ucapannya. Kupikir jika aku terus meladeni ucapannya, dia malah semakin senang. Oleh karena itu, kuputuskan untuk tutup mulut saja. Meskipun ingin sekali membalas ucapannya, aku berusaha terlihat setenang mungkin dari luar tak memperdulikannya. Dan kupikir cara ini berhasil. Sudah beberapa hari ini, Ia tidak menjahiliku. Bahagianya.
***
Hari ini, sebelum berangkat kuliah. Aku pergi ke SMA tempatku dulu bersekolah. Aku membutuhkan fotokopi legalisasi ijazah untuk keperluan kampus. Semoga tidak bertemu Sera. Sera juga bersekolah disini, Ia kelas 3. Usai melegalisasi, aku menyempatkan diri untuk makan dikantin. Rindu jajanan masa sekolah. Sedang makan bubur ayam dengan lahapnya, tiba-tiba ada suara yang menyapaku. “Maaf, kakak ini kakaknya Sera ya?” aku menoleh. Bagaimana dia bisa tahu? Aku mengangguk. “Pantesan mirip. aku Lisa temennya Sera. Salam kenal. Sera sering cerita soal kakak loh.” Pasti Sera sering menjelek-jelekkanku pada teman-temannya.
“Ooh. Halo Lisa. Dia cerita apa? Pasti menjelek-jelekkanku ya?” “Tidak kok ka, dia malah sering memuji kakak.” Aku sedikit terkejut mendengarnya. “Oh ya? dia mengatakan apa?” “Ah, aku tidak enak memberitahu tanpa seizin Sera.” Terus kenapa kamu memberitahuku dari awal, batinku. “Yang pasti Sera bangga sama kakak. Kakak sangat berbakat dan berprestasi. Dia ingin seperti kakak.” “Haha, mana mungkin dia bilang seperti itu.” “Seriusan kak.  O iya, hari ini Sera tidak masuk. Sera sakit apa ka?” “Hah? dia tidak masuk?” “Loh, kakak tidak tahu?” Bel berbunyi. “Wah sudah bel, Ka aku masuk kelas yah. Sampai jumpa. O iya, titip salam buat Sera. Semoga lekas sembuh.” I..iya, terima kasih Lisa.” Lisa membalas dengan senyuman. Setelah membayar makanan, aku bergegas pulang ke rumah. Sepertinya hari ini aku tidak akan kuliah.
Sesampainya dirumah, ibu menatapku heran “Loh, kamu tidak kuliah Dey?” “Tidak, Sera ada dimana bu?” “Dikamarnya. dia sakit.” Aku bergegas menuju kamarnya. Begitu aku masuk, Ia sedang terbaring lemah ditempat tidur menoleh padaku. “Mau apa masuk ke kamarku. Sana-sana pergi.”  Aku tidak memperdulikan ucapannya dan langsung berhambur memeluknya erat. “Ih, apan sih ini. geli tahu. lepasin.” ucapnya memberontak. “Cepat sembuh yah adikku. Nanti kalau ada pelajaran yang kamu tidak bisa. tanya saja sama kakak.” Sera hanya menatapku bingung. “Yasudah kamu istirahat lagi saja. Kakak keluar ya.” Aku kembali kekamarku. Terdiam untuk beberapa saat. Masih tidak percaya apa yang kulakukan barusan. Aku sangat bahagia, ternyata selama ini sebenarnya Sera bangga dan ingin menjadi sepertiku. Sehari-hari dia selalu mengejekku hanya untuk mencari perhatianku. Yah, benar apa yang dikatakan Nesa. Apa yang terlihat diluar belum tentu mencermikan isi hati.
Baiklah, kuputuskan aku akan berubah. Selama ini, aku tidak pernah mencoba berkomunikasi baik-baik dengan keluargaku. Yah, semua keadaan tidak akan berubah begitu saja tanpa ada usaha. Aku selalu mengeluhkan tindakan mereka, tetapi tidak pernah mengatakan secara langsung pendapatku. Akan kucoba berbicara jujur kepada ibu dan ayah. Mengatakan isi hatiku sebenarnya…
***
“Bu, aku ingin berbicara dengan ibu. ada waktu?” Ibu yang sedang duduk menonton tv, menoleh. “Iya, ada apa Dey.” Ibu mematikan tv dan menatap ke arahku. “Bu.. Ibu tahu tidak, Dey sangat tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Ketika ibu membanding-bandingkan Dey, Dey sakit hati sekali... Dey tahu, anak-anak teman ibu, mahasiswa yang ikut perlombaan yg ibu lihat di tv adalah orang-orang yang lebih berprestasi dari Dey. Ibu tahu, Dey juga berusaha mati-matian agar ibu bangga sama Dey. Tapi apa hasilnya…Ibu tidak pernah mengatakan hal yang membuat Dey bahagia, justru membuat Dey semakin sedih. Dey tidak mungkin memiliki persis prestasi setinggi orang-orang yang ibu sebutkan. karena Dey bukan mereka. Tetapi, Dey yakin suatu hari nanti ibu akan bangga sama Dey. Dey akan berprestasi dibidang Dey bu.” Ibu hanya terdiam mendengarkan ucapanku. “Dey.. ibu tidak pernah berniat menyakiti hati Dey dengan ucapan ibu. Ibu hanya ingin membuat Dey lebih termotivasi dan semakin berprestasi. Menjadi orang yang sukses… Dulu nenekmu sering membandingkan ibu dengan orang lain. Ibu sendiri tidak suka dengan cara nenekmu. Tapi tanpa sadar, ibu menerapkan aturan yang sama padamu dan Sera. Maafkan ibu nak.” Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Mataku mulai berair. Kami saling berpelukan. “Ibu janji tidak akan berbuat seperti itu lagi.” “Makasih ya bu” Ucapku dengan air mata terus mengalir. Sebegitu mudahnya suatu masalah dapat terselesaikan dengan adanya saling keterbukaan dan pengertian. Seandainya aku berinisiatif melakukannya dari dulu.
***
Hari Minggu yang cerah, bergegas aku bangun, berlari menuju kamar Sera. “Sera, banguuun” “Sana pergi! Aku masih ngantuk.” Jawabnya. Aku menutup mukanya dengan selimut. “Ih, apaan sih!” Gerutunya. Aku hanya membalas dengan tertawa, sekali-kali aku ingin  mengerjainya balik. Kemudian aku berlari keluar turun ke lantai bawah. Kulihat ayah sedang membaca Koran. Kalau ibu, sepertinya sedang memasak di dapur. Menghela napas dalam, aku berjalan perlahan ke arah ayah. “Selamat pagi Ayah..” Ayah ,menoleh. “Pagi.” “Ayah, kemarin bagaimana dikantor? pasti ayah pulang capai sekali ya? Dey pijitin ya?” ayah menatapku bingung. “Ayah baik-baik saja. Sedikit lelah, tapi tidak terlalu terasa. Karena setiap bekerja ayah ingat kalian.” Ucapnya lembut. Meskipun saat berbicara sedikit kaku. Sungguh ia tidak terlihat menyeramkan lagi. Aku tersenyum. “Ayah hebat!” Ayah menatap wajahku beberapa detik. Jujur aku masih sedikit takut melihat tatapannya. Namun, tak kusangka kemudian ia tersenyum. Ia tersenyum! Senyuman yang jarang sekali kulihat diwajahnya. Perbincangan kami terus berlangsung sepanjang pagi itu.
Dikemudian hari, aku baru tahu dari ibu. Ayah sangat pendiam karena orang tua ayah mendidiknya dengan keras diwaktu ia masih kecil. Aku sungguh kasihan pada ayah. Sebenarnya ayah sangat menyayangi kami sekeluarga. Namun kini aku sangat bahagia, perlahan ayah sudah mulai sering berbicara padaku dan Sera meskipun masih sedikit kaku.
***
Sudah beberapa bulan berlalu. Aku sangat bahagia. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga lengkap yang terdiri dari ayah, ibu, dan Sera. Aku sangat mencintai mereka! Dan kuyakin mereka pun merasakan hal yang sama. Terkadang, tanpa sadar ibu masih membandingkanku dengan orang lain. Namun, aku tidak lagi mengeluh melainkan mengingatkannya langsung secara baik-baik. Aku memakluminya, pasti sulit merubah kebiasaan ibu secara sekaligus. Aku sudah jarang bertengkar dengan Sera. Meskipun umurnya tidak berbeda jauh dariku, ia masih membutuhkan sosok seorang kakak. Ayahku, sudah sering berbicara ketika kami berkumpul. Terakhir, atas inisiatifnya sendiri, liburan semester ini dia mengajak kami berlibur ke Thailand. Sungguh senang hatiku. Berkat cinta, kini kami lebih sering tertawa bersama.
Yah perubahan itu tidak akan terjadi jika aku tetap mengeluh. Aku yang harus berubah, baru keadaan disekelilingku akan berubah. Kunci nomor satu dalam hubungan manusia adalah komunikasi yang baik. Perubahan dapat terjadi jika kita mau saling mendengarkan dan saling memahami…
***




[1] Indeks Prestasi, penilaian prestasi mahasiswa selama masa kuliah.