Pepohonan di kanan kiri jalan menari-nari tertiup
angin. Rintik hujan dengan cepat berubah menjadi deras membasahi permukaan
tanah. Masih tersisa beberapa karyawan di dalam gedung, termasuk aku yang lebih
memilih pulang setelah hujan reda. Ada yang sibuk dengan telepon genggamnya,
mengobrol, mendengarkan musik, dan aku sendiri hanya duduk termangu menatap
pemandangan di luar jendela. Salah seorang rekan kerja datang ke arahku “Penghilang
kantuk.” Ucapnya. Aku menatap benda yang ia letakkan di atas mejaku. Sebuah permen,
rasa permen kesukaanku.
***
Aku melesat sangat cepat sampai tak menyadari ada batu besar di jalan yang kulintasi. Aku kehilangan kendali mengenderai sepeda dan jatuh terjerembab di atas tanah. Kedua lutut serta telapak tanganku dipenuhi luka. Aku memanggil ayah dan ibu diiringi isak tangis. Setelah luka diobati, tangisku masih tidak berhenti. Ayah menanyakan keadaanku.
“Nak,
bagian mana yang masih terasa sakit?” Melihatnya membuat mataku kembali berair.
“Sepedanya
rusak yah...” Ucapku dengan suara terbata-bata. Ayah menatapku dengan lembut.
“Tidak apa-apa. Sepeda bisa dibeli lagi. Yang
paling penting kamu baik-baik saja.”
Aku merasa lega mendengar jawaban ayah karena yang
membuatku terus menerus bersedih adalah membayangkan ayah akan marah mengetahui
sepeda yang baru dibelinya beberapa hari lalu sudah rusak.
“O
iya, ayah punya sesuatu untukmu.” Ayah meraih tangan kananku dan meletakkan
sesuatu di atasnya.
“Permen?”
“Iya,
tapi bukan sembarang permen. Waktu dimakan akan terasa dingin seperti es.”
Karena penasaran langsung kubuka
bungkusnya dan memakannya. Benar yang ayah katakan, aku merasakan sensasi
dingin di mulutku. “Iya. Dingiiin. Aku mau lagi.”
“Hanya
boleh satu. Tidak boleh makan banyak-banyak dalam sehari. Nanti kamu bisa
membeku. Brrrrr.” Ayah berpura-pura kedinginan. Aku tertawa melihat tingkah
ayah. Kesedihanku pun terlupakan begitu saja. Permen dingin yang kucicipi untuk
pertama kalinya di usia 7 tahun, nantinya baru kuketahui bernama permen mint.
Sejak itu sampai bertahun-tahun kemudian ayah selalu memberikan permen mint setiap kali aku bersedih. Ketika aku mendapatkan nilai rendah pada ulangan harian di sekolah, ayah menyemangatiku dan memberikanku sebuah permen mint. Ketika seorang teman baikku pindah sekolah, ayah mendengarkan keluh kesahku, memberikan sebuah permen mint, lalu mengatakan hal-hal yang membuatku tertawa kembali. Di setiap kesempatan aku sangat senang menerima permen mint dari ayah. Persis seperti pertama kali aku mencicipinya.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa permen mint bukan
barang yang mewah. Aku bisa membelinya dengan uang sakuku di toko atau warung.
Akan tetapi tak pernah sekalipun aku membelinya. Aku selalu menunggu ayah yang
memberikannya. Namun, lambat laun perasaan itu berubah setelah aku menginjak
usia remaja. Aku tidak merasa senang lagi mendapat permen itu.
Satu persatu temanku memiliki telepon genggam. Setiap
kali mereka menunjukkannya, aku merasa kagum ingin memilikinya juga. Saat ayah pulang
bekerja dari pabrik, aku mengajaknya berbicara.
“Ayah
sekarang ada telepon genggam yang bisa dibawa kemana-kemana. Keren sekali yah.
Teman-temanku memilikinya.” Ucapku membuka percakapan.
“Wah
keren sekali.” Balas ayah sambil mengisi gelasnya dengan air putih.
“Ayah,
aku juga ingin memilikinya.”
“Sementara
ini pakai telepon rumah dulu ya nak. Nanti pasti ayah belikan untukmu.”
“Tapi
aku inginnya sekarang yah.”
“Iya
nanti ayah belikan, eh coba lihat apa ini...” Seperti biasa ayah mengeluarkan
permen mint dari sakunya.
“Kapan?
Ayah selalu bilang nanti nanti nanti terus. Aku ingin telepon genggam bukan
permen mint!” Setelah menyelesaikan ucapanku, aku berlari ke kamar. Tak lama
ibu yang mendengarkan perkataanku pada ayah, masuk ke kamarku.
“Aku
sedang ingin sendiri bu.” Ibu tak mengindahkan perkataanku. Ia duduk di tepi
kasur tempatku berbaring.
“Nak,
jangan berkata kasar pada ayahmu. Sebenarnya ayah selalu ingin memberikan
barang-barang yang kamu inginkan, tapi sayangnya penghasilannya seringkali
hanya bisa menutupi biaya kehidupan kita sehari-hari dan sekolahmu.”
“Seharusnya
dari awal ayah tidak berjanji padaku.”
“Jika
ayah mengatakan tidak sejak awal, apa kamu bisa menerimanya?” Pertanyaan ibu membuatku
tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Ibu
mohon kalau kamu sudah merasa baikan minta maaflah pada ayahmu.”
Malam harinya, di waktu makan malam aku memutuskan untuk keluar kamar. Ayah duduk di meja makan, sedangkan ibu hilir mudik menaruh makanan yang akan kami santap malam ini. Aku berjalan ke arah meja makan dan duduk di sampingnya.
“Ayah...
Maafkan aku.” Ayah membalasku dengan senyuman sambil mengusap-ngusap kepalaku.
Ibu yang kembali dari dapur ikut tersenyum.
“Permen
untukku...?” Ayah meletakkan sebuah permen di telapak tanganku.
***
Kusentuh permen mint yang tergeletak di meja kerjaku. Permen dingin yang sudah lama tidak kumakan semenjak aku merantau. Aku mendekat ke arah rekan yang tadi memberikan permen. “Maaf, tapi aku tidak bisa memakan permen mint selain pemberian dari ayahku.”
***
Thya Amida