Wednesday, May 9, 2018

Permen Dingin

1 comments


Pepohonan di kanan kiri jalan menari-nari tertiup angin. Rintik hujan dengan cepat berubah menjadi deras membasahi permukaan tanah. Masih tersisa beberapa karyawan di dalam gedung, termasuk aku yang lebih memilih pulang setelah hujan reda. Ada yang sibuk dengan telepon genggamnya, mengobrol, mendengarkan musik, dan aku sendiri hanya duduk termangu menatap pemandangan di luar jendela. Salah seorang rekan kerja datang ke arahku “Penghilang kantuk.” Ucapnya. Aku menatap benda yang ia letakkan di atas mejaku. Sebuah permen, rasa permen kesukaanku.
***

Aku melesat sangat cepat sampai tak menyadari ada batu besar di jalan yang kulintasi. Aku kehilangan kendali mengenderai sepeda dan jatuh terjerembab di atas tanah. Kedua lutut serta telapak tanganku dipenuhi luka. Aku memanggil ayah dan ibu diiringi isak tangis. Setelah luka diobati, tangisku masih tidak berhenti. Ayah menanyakan keadaanku.
“Nak, bagian mana yang masih terasa sakit?” Melihatnya membuat mataku kembali berair.
“Sepedanya rusak yah...” Ucapku dengan suara terbata-bata. Ayah menatapku dengan lembut.
 “Tidak apa-apa. Sepeda bisa dibeli lagi. Yang paling penting kamu baik-baik saja.”
Aku merasa lega mendengar jawaban ayah karena yang membuatku terus menerus bersedih adalah membayangkan ayah akan marah mengetahui sepeda yang baru dibelinya beberapa hari lalu sudah rusak.
“O iya, ayah punya sesuatu untukmu.” Ayah meraih tangan kananku dan meletakkan sesuatu di atasnya.
“Permen?”
“Iya, tapi bukan sembarang permen. Waktu dimakan akan terasa dingin seperti es.”
            Karena penasaran langsung kubuka bungkusnya dan memakannya. Benar yang ayah katakan, aku merasakan sensasi dingin di mulutku. “Iya. Dingiiin. Aku mau lagi.”
“Hanya boleh satu. Tidak boleh makan banyak-banyak dalam sehari. Nanti kamu bisa membeku. Brrrrr.” Ayah berpura-pura kedinginan. Aku tertawa melihat tingkah ayah. Kesedihanku pun terlupakan begitu saja. Permen dingin yang kucicipi untuk pertama kalinya di usia 7 tahun, nantinya baru kuketahui bernama permen mint.

Sejak itu sampai bertahun-tahun kemudian ayah selalu memberikan permen mint setiap kali aku bersedih. Ketika aku mendapatkan nilai rendah pada ulangan harian di sekolah, ayah menyemangatiku dan memberikanku sebuah permen mint. Ketika seorang teman baikku pindah sekolah, ayah mendengarkan keluh kesahku, memberikan sebuah permen mint, lalu mengatakan hal-hal yang membuatku tertawa kembali. Di setiap kesempatan aku sangat senang menerima permen mint dari ayah. Persis seperti pertama kali aku mencicipinya.

Di kemudian hari aku baru tahu bahwa permen mint bukan barang yang mewah. Aku bisa membelinya dengan uang sakuku di toko atau warung. Akan tetapi tak pernah sekalipun aku membelinya. Aku selalu menunggu ayah yang memberikannya. Namun, lambat laun perasaan itu berubah setelah aku menginjak usia remaja. Aku tidak merasa senang lagi mendapat permen itu.

Satu persatu temanku memiliki telepon genggam. Setiap kali mereka menunjukkannya, aku merasa kagum ingin memilikinya juga. Saat ayah pulang bekerja dari pabrik, aku mengajaknya berbicara.
“Ayah sekarang ada telepon genggam yang bisa dibawa kemana-kemana. Keren sekali yah. Teman-temanku memilikinya.” Ucapku membuka percakapan.
“Wah keren sekali.” Balas ayah sambil mengisi gelasnya dengan air putih.
“Ayah, aku juga ingin memilikinya.”
“Sementara ini pakai telepon rumah dulu ya nak. Nanti pasti ayah belikan untukmu.”
“Tapi aku inginnya sekarang yah.”
“Iya nanti ayah belikan, eh coba lihat apa ini...” Seperti biasa ayah mengeluarkan permen mint dari sakunya.
“Kapan? Ayah selalu bilang nanti nanti nanti terus. Aku ingin telepon genggam bukan permen mint!” Setelah menyelesaikan ucapanku, aku berlari ke kamar. Tak lama ibu yang mendengarkan perkataanku pada ayah, masuk ke kamarku.
“Aku sedang ingin sendiri bu.” Ibu tak mengindahkan perkataanku. Ia duduk di tepi kasur tempatku berbaring.
“Nak, jangan berkata kasar pada ayahmu. Sebenarnya ayah selalu ingin memberikan barang-barang yang kamu inginkan, tapi sayangnya penghasilannya seringkali hanya bisa menutupi biaya kehidupan kita sehari-hari dan sekolahmu.”
“Seharusnya dari awal ayah tidak berjanji padaku.”
“Jika ayah mengatakan tidak sejak awal, apa kamu bisa menerimanya?” Pertanyaan ibu membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Ibu mohon kalau kamu sudah merasa baikan minta maaflah pada ayahmu.”

Malam harinya, di waktu makan malam aku memutuskan untuk keluar kamar. Ayah duduk di meja makan, sedangkan ibu hilir mudik menaruh makanan yang akan kami santap malam ini. Aku berjalan ke arah meja makan dan duduk di sampingnya.
“Ayah... Maafkan aku.” Ayah membalasku dengan senyuman sambil mengusap-ngusap kepalaku. Ibu yang kembali dari dapur ikut tersenyum.
“Permen untukku...?” Ayah meletakkan sebuah permen di telapak tanganku.
***

Kusentuh permen mint yang tergeletak di meja kerjaku. Permen dingin yang sudah lama tidak kumakan semenjak aku merantau. Aku mendekat ke arah rekan yang tadi memberikan permen. “Maaf, tapi aku tidak bisa memakan permen mint selain pemberian dari ayahku.”
***


Thya Amida