Namanya
Tekun Belajar. Ia adalah sahabat sekaligus teman sekelasku semasa SMA. Lulus sekolah,
kami melanjutkan pendidikan di universitas berbeda. Setelah memperoleh gelar
dari universitas, aku mendapat pekerjaan tidak jauh dari tempat tinggalku
sedangkan Tekun memutuskan kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru
sekolah di sana. Meskipun terpisah jarak, disibukkan dengan pekerjaan, serta membangun
kehidupan keluarga masing-masing, namun kami masih tetap bersahabat sampai
rambut kami telah memutih. Kami suka berbicara melalui telepon, memberikan
kabar, membahas kehidupan masing-masing, anak-anak yang beranjak dewasa, memiliki
cucu pertama, dan topik-topik menarik lainnya. Teknologi memudahkan siapapun
untuk berkomunikasi, akan tetapi mengirim pesan melalui surat paling disukai Tekun.
Ia semakin sering mengirimiku surat di masa pensiunnya. Menurutnya pesan akan
lebih tersampaikan jika ditulis sendiri pengirimnya.
Selain
itu, satu sampai dua kali dalam setahun kami menyediakan waktu luang mengunjungi
rumah satu sama lain. Aku mengenal baik istri Tekun, Ita, yang juga merupakan
teman sekelas kami semasa SMA. Awalnya ia tak tertarik pada Tekun, tapi lama
kelamaan berkat kegigihan dan ketekunan seperti tercermin dari namanya, Ita
menerima cinta Tekun. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki yang kini hidup mapan.
Hari
ini aku sedang dalam perjalanan mengunjungi sahabatku Tekun di kampung
halamannya. Masih dapat kuingat jelas hari ketika kami bertemu. Di hari pertama
masuk sekolah, aku datang kesiangan beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi.
Sesampainya di sana sudah tidak banyak tempat duduk tersisa. Hanya ada 2 bangku
kosong di baris paling belakang, dan 3 bangku kosong di baris pertama. Dikarenakan
mata minus, tak mungkin bagiku duduk di baris paling belakang. Akhirnya kupilih secara
acak bangku yang kutempati di baris depan. Teman sebangku itulah yang kemudian menjadi
sahabatku. Sesudah meletakkan tas dan duduk di bangkuku, ia langsung mengulurkan
tangan padaku “Tekun Belajar.” Ucapnya. Aku tidak mengerti hal yang
dibicarakannya. “Ha? Sekarang kita memang harus belajar.” Ia tertawa. “Bukan,
maksudku namaku Tekun. Tekun Belajar.” “Namamu Tekun... Belajar? Oh... Aku
Ergi.” Walaupun sebenarnya aku agak terkejut mendengar namanya yang unik, aku
berusaha bersikap biasa saja dan membalas uluran tangannya mengajak bersalaman.
***
Ketika melewati koridor aku sempat mendengar beberapa anak perempuan membicarakan Tekun. Sebenarnya banyak anak lainnya yang membicarakan dirinya di belakangnya. Mereka menjadikan nama unik Tekun sebagai bahan tertawaan. “Tekun, kamu jangan lupa selalu tekun belajar. Jangan tekun bermain.” Ucap seorang teman yang menurutku jelas-jelas mengejek Tekun. Tekun cuma tersenyum mendengarnya. Aku heran dengan orang tuanya yang memberikan nama seperti itu kepadanya.
“Tekun, maaf kalau kamu berpikir aku
terlalu ikut campur. Apakah tidak pernah terlintas dipikiranmu untuk mengganti
nama?” Tanyaku hati-hati membuka percakapan. “Namaku? Kamu pikir namaku buruk?”
“Bu-bukan begitu maksudku. “Namamu unik, tapi yah... agak aneh dijadikan sebuah
nama.” Kemudian Tekun pun menceritakan kisah di balik namanya. “Kedua orang
tuaku tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka hanya berbicara menggunakan bahasa
daerah. Suatu hari paman, adik ayahku yang bekerja di kota, pulang ke kampung.
Ia bercerita mengenai kehidupannya di kota dengan memasukkan beberapa kata
dalam bahasa indonesia. Ayahku tertarik pada kata ‘tekun belajar’ yang
diucapkan paman. Menurutnya dua kata itu terdengar indah, terlebih setelah
mengetahui artinya. Saat ibuku mengandung, ayah berencana menggunakan kata
‘Tekun Belajar’ untuk menamai anak mereka jika yang lahir anak lelaki.” Selama
beberapa saat Tekun terdiam sebelum melanjutkan ceritanya.
“Dulu di kampungku tidak ada sekolah yang berdiri. Demi masa depanku, kedua orang tuaku meminta paman membawaku untuk bersekolah di kota. Ternyata teman-teman baru di kota justru menganggap namaku aneh. Mereka tertawa mendengar namaku...” Aku memotong kalimatnya. “Makanya sekarang ganti saja namamu. Bicarakan hal ini dengan kedua orang tuamu. Walaupun harus mengurus berkas-berkas, nantinya kamu bisa memiliki nama baru Kun.”
“Kamu belum mendengar kelanjutan ceritaku
Gi. Awalnya aku sedih ditertawakan teman-temanku. Tetapi beberapa minggu
kemudian tidak ada yang membicarakannya lagi. Mereka sudah terbiasa dengan
namaku. Sekarang mungkin teman-teman di sekolah ini masih menertawakanku. Seminggu,
sebulan, atau beberapa bulan lagi mereka pasti bosan. Tak mungkin kedua orang tuaku berniat
memberikan nama tidak baik. Terselip doa dan harapan mereka dalam nama yang
diberikan kepadaku. Aku tak akan pernah mengganti namaku. Aku suka namaku Tekun
Belajar.”
Setelah
mendengar ucapan Tekun, aku mulai memahami perasaan dan cara pandangnya. “Maaf
aku sudah berkata yang tidak-tidak. Kalau dipikir-pikir namamu juga membawa keuntungan.”
Tekun mengernyitkan dahi tak mengerti. “Namamu yang unik membuat guru, dan
teman-teman mudah mengingatmu. Kamu jadi populer.” Tekun tertawa mendengarnya.
“Semoga aku tidak populer karena namaku saja.” Balasnya.
Sampai lulus sekolah Tekun memang tidak dikenal karena hanya keunikan namanya, tetapi juga kepintarannya. Ia selalu mendapat peringkat pertama dari kelas 1 sampai kelas 3. Teman-teman sekelas, junior, maupun senior di sekolah kami hampir semuanya mengenal si Tekun Belajar. Menurut Tekun, setiap orang yang memanggil namanya seperti pemberi semangat dan pengingat agar dirinya terus tekun dalam mencapai tujuannya.
Sampai lulus sekolah Tekun memang tidak dikenal karena hanya keunikan namanya, tetapi juga kepintarannya. Ia selalu mendapat peringkat pertama dari kelas 1 sampai kelas 3. Teman-teman sekelas, junior, maupun senior di sekolah kami hampir semuanya mengenal si Tekun Belajar. Menurut Tekun, setiap orang yang memanggil namanya seperti pemberi semangat dan pengingat agar dirinya terus tekun dalam mencapai tujuannya.
Mengenang
masa lalu kami, tak terasa aku sudah sampai di tempat Tekun. “Tekun Belajar, apa
kabar? Aku ingin memberitahumu, cucuku bulan depan menikah. Sangat menyenangkan
kalau kamu juga bisa berkumpul bersama kami...” Mataku mulai berair memandang
tempat peristirahatan terakhir Tekun. Aku merasa sedih tak bisa lagi mendengar
suara, dan menerima surat-surat berisi tulisan tangan Tekun setelah kematiannya
dua tahun lalu.
***