Satu Cinta Empat Tawa
Cinta..
Jika itu adalah satu kata untuk mengungkapkan rasa sayang untuk seseorang atau
beberapa orang yang membuat kita bahagia ketika berada dekat dengan mereka. Aku
pernah merasakannya. Aku mencintai seseorang, aku mencintai sahabatku. Akan tetapi,
jika cinta itu diutarakan untuk keluargaku. Sayang sekali, aku tidak pernah
merasakannya sampai saat ini…
“Dey,
kamu semester ini dapat IP
berapa?” Ucap ibuku. “3,4 bu” Aku tahu
apa yang akan diucapkan ibu selanjutnya. “Kok, tidak berbeda jauh dari semester
kemarin.” “Segitu IP Deyza naik 0,3 bu.” “Yah tapi kan, kalo naiknya lebih
besar lagi, itu lebih baik. Anak teman ibu dapet IP sampai 3,8 tuh.” “Kalau begitu,
bagaimana kalau anak teman ibu itu, ibu angkat saja jadi anak. menggantikan posisi
Deyza?” Tanpa melihat reaksi ibu, aku berlalu menuju kamar. Sudah malas diam
diruang keluarga mendengarkan ocehan ibuku lebih lama. Ibuku bukanlah tipe orang
yang mudah marah, bahkan jarang sekali aku melihatnya marah. Ia ibu yang sangat
baik, sayang kekurangannya hanya satu. Ibuku selalu menginginkan prestasi anaknya
yang tinggi, dan sempurna. Yang membuatku semakin kesal adalah Ia selalu
membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Seandainya aku memiliki ibu
yang selalu mendukung dan bangga atas usaha kerasku untuk belajar..
Sore
harinya, suara adikku, Sera membangunkanku. “Dey, bangun, bangun, banguuun!”
Ucapnya sambil mengguncang-guncang tubuhku. “Apaan sih, tidak usah
teriak-teriak. Telingaku sakit!” “Teriak-teriak saja kamu susah bangun, apalagi
dibangunkan dengan lembut. Eh aku pinjam uang seratus ribu dong Dey.” “Kenapa
minta sama aku? memangnya kamu pikir aku ini Bank, minta sama ayah.” “Jangan
pelit sama adik sendiri Dey.. Aku tidak berani minta duit langsung ke ayah. Kalau
ke ibu, tidak mungkin…yang ada aku malah dimarahi.” “Aku tak peduli. Lagipula
pasti uang itu kamu gunakan untuk pergi main. O iya, sejak kapan kamu jadi
adikku? bukannya kamu selalu memanggil namaku saja. hoho” Aku kembali menarik
selimut. “Huh! Dasar, nenek pelit!” “Heh!
bicara sembarangan. Kamu semakin hari semakin menyebalkan. Aku benci punya adik
sepertimu!” Sera terdiam sejenak, kemudian berkata dengan nada suara yang
sangat dingin. “Memangnya kamu saja, sekarang aku jadi malas punya kakak
sepertimu.” Ia pun keluar membanting pintu. Tatapannya tadi sedikit aneh, apa
mungkin ucapanku tadi keterlaluan? Ah sudahlah salahnya sendiri menggangguku. Perbedaan
umurku dengannya hanya satu tahun, tapi dia selalu bertindak seakan-akan kami
seumuran. Setiap hari kami selalu bertengkar dikarenakan hal-hal yang sepele. Aku
tidak mempermasalahkan dia memanggilku tanpa panggilan kakak, yang paling aku
benci dia selalu menghina dan menjahiliku. Seandainya aku memiliki adik yang
menghormati dan menyayangiku…
Malam
harinya, Kami makan bersama di meja makan. Ayah, Ibu, Aku, dan Sera. Kami
berkumpul lengkap hanya ketika makan malam dan akhir pekan. Setiap hari ayah
berangkat kerja pagi-pagi sekali dan baru tiba di rumah ketika sudah malam. Ayahku
bukan tipe orang yang banyak berbicara, berbeda seratus delapan puluh derajat
dengan ibu. Entah bagaimana akhirnya mereka bisa menjadi pasangan suami istri. Jarang
sekali aku berbicara dengan ayah, tanpa terlebih dahulu ayah yang membuka
pembicaraan. Aku merasa segan padanya. Dari kecil aku dan Sera lebih dekat
dengan ibu. Sera yang sehari-hari sangat cerewet, jika sudah berhadapan dengan ayah
akan diam seribu bahasa. Seandainya aku punya ayah yang mau meluangkan waktunya
untukku dan sering-sering mengajakku berbicara…
***
“Kok
kamu tertawa sih Nes..” “Habisnya lucu, setiap curhat tidak jauh-jauh
mengeluhkan keluargamu. Sekarang cerita tentang adikmu.” “Lucu apanya, aku
sangat benci dia.. Seandainya aku mempunyai adik seperti adikmu. manis, baik,
dan yang pasti sayang pada kakaknya.” “Perbedaan umurku dengan adikku kan lumayan
jauh. Jangan dibandingkan dengan adikmu Dey. Masing-masing orang memiliki sifat
yang berbeda. Lagipula kalau menurutku, Sera itu hanya kasar dimulut. Di
hatinya dia sangat menyayangimu.” “Hah? Sangat tidak mungkin.” “Segala
kemungkinan itu selalu ada loh Dey. Eh iya Dey, sore ini jadi ngerjain tugas
dirumahku?” “Jadi Nes.” “Kamu mau pulang ke rumah terlebih dahulu atau langsung
ke rumahku?” “Langsung saja ke rumahmu Nes. Aku sudah membawa laptop kok.” “Sip
kalo begitu.”
Sore
harinya, aku sudah berada di rumah Nesa. Ibunya menyambut kedatangan kami. “eh,
ada Deyza. Apa kabar Dey? lama tak bertemu.” “Iya tante, keadaanku baik.“ “Ma, kita langsung ke atas
ya, mau ngerjain tugas.” “Permisi tante.” “Iya.” Jawab Ibu Nesa. Setengah jam
kemudian, ibu Nesa membawakan kue ke kamar. “Tidak usah repot-repot tante.” “Tidak
merepotkan kok. Kebetulan tadi tante buat bolu.” “Ayo, kalian makan dulu. Baru
lanjut lagi belajarnya.” “Iya tante. terima kasih banyak.” “Ngomong-ngomong
kalo tante boleh tahu, kamu dapat IP berapa semester kemarin Dey.” “IP Deyza besar
ma” Sahut Nesa sambil mengunyah kue. “Nesa bohong tante, IP-ku masih lebih
kecil dari Nesa. 3,4 tan.” “Wah itu sih besar, Hanya berbeda 0,1 dari Nesa.
Hebat.. Semakin semangat belajarnya ya.” “Iya tan.” Aku sangat bahagia tante
memujiku. “Baiklah, tante tidak mau mengganggu lebih lama belajar kalian. tante
turun ya. Kalau bolunya sudah habis, ambil lagi saja ke lantai bawah ya Nes.”
“Iya, ma.” Jawab Nesa.
“Nes,
ibu kamu baik banget ya. Ingin sekali aku mempunyai ibu seperti ibumu” “Hahaha,
kamu ada-ada saja Dey. Tadi ingin mempunyai adik seperti adikku, sekarang ingin
mempunyai ibu, seperti ibuku. Nanti lama-lama kamu ingin mempunyai ayah seperti
ayahku juga Dey.” “Mungkin..” Jawabku menanggapi serius ucapan Nesa. “Astaga
Dey, kamu tidak boleh seperti itu.. Walaupun terkadang menurutmu, keluargamu itu
menyebalkan, tetapi sebenernya mereka sangat menyayangimu.” “Tidak mungkin..”
“Dey, kamu harusnya bersyukur memiliki keluarga yang lengkap. Lagipula kalau
kamu merasa ada tindakan mereka yang menyakitimu. Berhentilah mengeluh dan
berandai-andai. Katakanlah secara langsung dengan cara yang baik. Aku yakin
mereka akan mengerti. Keadaan diluar diri kita tidak akan berubah kalau tidak
dimulai dari diri kita sendiri Dey.” Aku terdiam beberapa saat merenungi
perkataan Nesa. “Aduh Dey maaf ya kalau kata-kataku ini terkesan menggurui.” “Tidak
apa-apa Nes, makasih atas sarannya.”
***
“Dey,
kamu kemana saja hari ini? masa iya kuliah sampai malam seperti ini.” Ucap ibu.
“Aku habis mengerjakan tugas di rumah Nesa bu. Tadi aku sudah telepon ke rumah,
tapi tidak ada yang angkat.” “Ooh, Ya sudah kamu makan sana. Ibu sudah masak
sop ayam.” Tanpa menaruh tas terlebih dahulu ke kamar, aku langsung menuju meja
makan. “hmm. Loh mana sopnya bu?.” “Memangnya tidak ada? yang dimangkuk biru.”
“Mangkuk biru sih ada, tapi tidak ada isinya bu.” “Wah, sepertinya adikmu menghabiskannya.
Sera kamu menghabiskan sop ayam buat kakakmu ya?.” Ucap ibu dengan suara
nyaring. “Iya bu, habis aku sangat lapar.” Teriak Sera dari lantai atas. Padahal
nasihat Nesa tadi sudah mulai kupertimbangkan, tetapi tindakan Sera kali ini
membuatku malas berbaikan dengannya. Setiap hari Sera selalu membuat masalah.
Sudah pulang dengan keadaan sangat capai, dia malah membuatku jengkel. “Ya
sudah ibu buatkan telor dadar saja ya.” “Hmm” Jawabku. Apa boleh buat, daripada
perutku kelaparan dan tidak bisa tidur.
Ruang
makan kami terletak dibelakang ruang keluarga tanpa ada penghalang tembok, sehingga
aku masih bisa menonton tv dari meja makan. Ibu sedang duduk di sofa menonton
berita. Berita yang ditontonnya tentang prestasi mahasiswa yang menciptakan
robot. “Dey, lihat tuh. Mereka hebat sekali. Menciptakan robot.” “Mereka itu
anak teknik bu. Masa iya Dey yang dari jurusan komunikasi bikin robot juga.”
Gerutuku. “Yah tidak harus robot juga,
misalkan kamu bikin sebuah buku. Yang terpenting kamu menyumbangkan sesuatu dibidangmu
nak.” “Iya, nanti ya bu. Dey sudah selesai makan, sekarang mau tidur. Selamat
malam bu.” Malas mendengar lebih lama ceramah ibu. Sekarang Ibu yang membuatku
semakin jengkel. Semua nasihat Nesa hilang dari kepalaku.
***
Sudah
dua minggu aku mendiamkan Sera semenjak kejadian ia menghabiskan sop ayamku.
Saat dia datang ke kamar dan menjahiliku, aku tidak membalas ucapannya. Kupikir
jika aku terus meladeni ucapannya, dia malah semakin senang. Oleh karena itu,
kuputuskan untuk tutup mulut saja. Meskipun ingin sekali membalas ucapannya, aku
berusaha terlihat setenang mungkin dari luar tak memperdulikannya. Dan kupikir
cara ini berhasil. Sudah beberapa hari ini, Ia tidak menjahiliku. Bahagianya.
***
Hari
ini, sebelum berangkat kuliah. Aku pergi ke SMA tempatku dulu bersekolah. Aku
membutuhkan fotokopi legalisasi ijazah untuk keperluan kampus. Semoga tidak bertemu
Sera. Sera juga bersekolah disini, Ia kelas 3. Usai melegalisasi, aku menyempatkan
diri untuk makan dikantin. Rindu jajanan masa sekolah. Sedang makan bubur ayam
dengan lahapnya, tiba-tiba ada suara yang menyapaku. “Maaf, kakak ini kakaknya
Sera ya?” aku menoleh. Bagaimana dia bisa tahu? Aku mengangguk. “Pantesan
mirip. aku Lisa temennya Sera. Salam kenal. Sera sering cerita soal kakak loh.”
Pasti Sera sering menjelek-jelekkanku pada teman-temannya.
“Ooh.
Halo Lisa. Dia cerita apa? Pasti menjelek-jelekkanku ya?” “Tidak kok ka, dia
malah sering memuji kakak.” Aku sedikit terkejut mendengarnya. “Oh ya? dia
mengatakan apa?” “Ah, aku tidak enak memberitahu tanpa seizin Sera.” Terus
kenapa kamu memberitahuku dari awal, batinku. “Yang pasti Sera bangga sama
kakak. Kakak sangat berbakat dan berprestasi. Dia ingin seperti kakak.” “Haha,
mana mungkin dia bilang seperti itu.” “Seriusan kak. O iya, hari ini Sera tidak masuk. Sera sakit
apa ka?” “Hah? dia tidak masuk?” “Loh, kakak tidak tahu?” Bel berbunyi. “Wah
sudah bel, Ka aku masuk kelas yah. Sampai jumpa. O iya, titip salam buat Sera.
Semoga lekas sembuh.” I..iya, terima kasih Lisa.” Lisa membalas dengan senyuman.
Setelah membayar makanan, aku bergegas pulang ke rumah. Sepertinya hari ini aku
tidak akan kuliah.
Sesampainya
dirumah, ibu menatapku heran “Loh, kamu tidak kuliah Dey?” “Tidak, Sera ada
dimana bu?” “Dikamarnya. dia sakit.” Aku bergegas menuju kamarnya. Begitu aku
masuk, Ia sedang terbaring lemah ditempat tidur menoleh padaku. “Mau apa masuk
ke kamarku. Sana-sana pergi.” Aku tidak
memperdulikan ucapannya dan langsung berhambur memeluknya erat. “Ih, apan sih
ini. geli tahu. lepasin.” ucapnya memberontak. “Cepat sembuh yah adikku. Nanti
kalau ada pelajaran yang kamu tidak bisa. tanya saja sama kakak.” Sera hanya
menatapku bingung. “Yasudah kamu istirahat lagi saja. Kakak keluar ya.” Aku
kembali kekamarku. Terdiam untuk beberapa saat. Masih tidak percaya apa yang
kulakukan barusan. Aku sangat bahagia, ternyata selama ini sebenarnya Sera
bangga dan ingin menjadi sepertiku. Sehari-hari dia selalu mengejekku hanya
untuk mencari perhatianku. Yah, benar apa yang dikatakan Nesa. Apa yang
terlihat diluar belum tentu mencermikan isi hati.
Baiklah,
kuputuskan aku akan berubah. Selama ini, aku tidak pernah mencoba berkomunikasi
baik-baik dengan keluargaku. Yah, semua keadaan tidak akan berubah begitu saja
tanpa ada usaha. Aku selalu mengeluhkan tindakan mereka, tetapi tidak pernah
mengatakan secara langsung pendapatku. Akan kucoba berbicara jujur kepada ibu
dan ayah. Mengatakan isi hatiku sebenarnya…
***
“Bu,
aku ingin berbicara dengan ibu. ada waktu?” Ibu yang sedang duduk menonton tv,
menoleh. “Iya, ada apa Dey.” Ibu mematikan tv dan menatap ke arahku. “Bu.. Ibu
tahu tidak, Dey sangat tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain.
Ketika ibu membanding-bandingkan Dey, Dey sakit hati sekali... Dey tahu,
anak-anak teman ibu, mahasiswa yang ikut perlombaan yg ibu lihat di tv adalah
orang-orang yang lebih berprestasi dari Dey. Ibu tahu, Dey juga berusaha mati-matian
agar ibu bangga sama Dey. Tapi apa hasilnya…Ibu tidak pernah mengatakan hal
yang membuat Dey bahagia, justru membuat Dey semakin sedih. Dey tidak mungkin
memiliki persis prestasi setinggi orang-orang yang ibu sebutkan. karena Dey
bukan mereka. Tetapi, Dey yakin suatu hari nanti ibu akan bangga sama Dey. Dey
akan berprestasi dibidang Dey bu.” Ibu hanya terdiam mendengarkan ucapanku. “Dey..
ibu tidak pernah berniat menyakiti hati Dey dengan ucapan ibu. Ibu hanya ingin
membuat Dey lebih termotivasi dan semakin berprestasi. Menjadi orang yang
sukses… Dulu nenekmu sering membandingkan ibu dengan orang lain. Ibu sendiri
tidak suka dengan cara nenekmu. Tapi tanpa sadar, ibu menerapkan aturan yang
sama padamu dan Sera. Maafkan ibu nak.” Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Mataku
mulai berair. Kami saling berpelukan. “Ibu janji tidak akan berbuat seperti itu
lagi.” “Makasih ya bu” Ucapku dengan air mata terus mengalir. Sebegitu mudahnya
suatu masalah dapat terselesaikan dengan adanya saling keterbukaan dan
pengertian. Seandainya aku berinisiatif melakukannya dari dulu.
***
Hari
Minggu yang cerah, bergegas aku bangun, berlari menuju kamar Sera. “Sera,
banguuun” “Sana pergi! Aku masih ngantuk.” Jawabnya. Aku menutup mukanya dengan
selimut. “Ih, apaan sih!” Gerutunya. Aku hanya membalas dengan tertawa,
sekali-kali aku ingin mengerjainya
balik. Kemudian aku berlari keluar turun ke lantai bawah. Kulihat ayah sedang
membaca Koran. Kalau ibu, sepertinya sedang memasak di dapur. Menghela napas
dalam, aku berjalan perlahan ke arah ayah. “Selamat pagi Ayah..” Ayah ,menoleh.
“Pagi.” “Ayah, kemarin bagaimana dikantor? pasti ayah pulang capai sekali ya?
Dey pijitin ya?” ayah menatapku bingung. “Ayah baik-baik saja. Sedikit lelah,
tapi tidak terlalu terasa. Karena setiap bekerja ayah ingat kalian.” Ucapnya
lembut. Meskipun saat berbicara sedikit kaku. Sungguh ia tidak terlihat
menyeramkan lagi. Aku tersenyum. “Ayah hebat!” Ayah menatap wajahku beberapa
detik. Jujur aku masih sedikit takut melihat tatapannya. Namun, tak kusangka
kemudian ia tersenyum. Ia tersenyum! Senyuman yang jarang sekali kulihat
diwajahnya. Perbincangan kami terus berlangsung sepanjang pagi itu.
Dikemudian
hari, aku baru tahu dari ibu. Ayah sangat pendiam karena orang tua ayah mendidiknya
dengan keras diwaktu ia masih kecil. Aku sungguh kasihan pada ayah. Sebenarnya
ayah sangat menyayangi kami sekeluarga. Namun kini aku sangat bahagia, perlahan
ayah sudah mulai sering berbicara padaku dan Sera meskipun masih sedikit kaku.
***
Sudah
beberapa bulan berlalu. Aku sangat bahagia. Aku sangat bersyukur memiliki
keluarga lengkap yang terdiri dari ayah, ibu, dan Sera. Aku sangat mencintai
mereka! Dan kuyakin mereka pun merasakan hal yang sama. Terkadang, tanpa sadar ibu
masih membandingkanku dengan orang lain. Namun, aku tidak lagi mengeluh
melainkan mengingatkannya langsung secara baik-baik. Aku memakluminya, pasti
sulit merubah kebiasaan ibu secara sekaligus. Aku sudah jarang bertengkar
dengan Sera. Meskipun umurnya tidak berbeda jauh dariku, ia masih membutuhkan
sosok seorang kakak. Ayahku, sudah sering berbicara ketika kami berkumpul.
Terakhir, atas inisiatifnya sendiri, liburan semester ini dia mengajak kami
berlibur ke Thailand. Sungguh senang hatiku. Berkat cinta, kini kami lebih
sering tertawa bersama.
Yah
perubahan itu tidak akan terjadi jika aku tetap mengeluh. Aku yang harus
berubah, baru keadaan disekelilingku akan berubah. Kunci nomor satu dalam
hubungan manusia adalah komunikasi yang baik. Perubahan dapat terjadi jika kita
mau saling mendengarkan dan saling memahami…
***