Friday, July 7, 2017

Jangan berekspetasi

0 comments

Mendapat perhatian dan kepedulian, itu bahagia.
Bahagia itu datang sering tanpa diduga.
Tapi, saat berekspetasi terus berulang hal yang sama.
Itu berbeda.
Kecewa yang ada.

Berharap tinggi dan berekspetasi pada mimpi, 
Itu pasti.
Berharap tinggi dan berekspetasi pada orang lain,
Itu makan hati.



Thya 7/7/2017 07:04 pm

Wednesday, May 17, 2017

Sewaktu bosan...

0 comments



Saya ngerasa miris ngeliat keadaan dan kegiatan anak-anak sekarang ini, yang sangat amat berbeda jauh dengan masa kecil saya dulu. Saya tahu sekarang ini smartphone udah jadi kebutuhan sehari-hari, tapi saya pikir bukan untuk anak-anak. Saya kasihan sama mereka yang ga bisa ngerasain pengalaman seumurannya, karena udah kenal gadget duluan. 

Untuk saya sendiri, banyak pengalaman masa kecil yang begitu saya ingat kembali, bikin saya ingat kebodohan-kebodohan dulu.

Sewaktu bosan...
Saya suka bermain ‘guru-guruan’ pura-pura ngajar di papan tulis. Biar ramai, saya jejerin boneka yang saya anggap sebagai murid.

Sewaktu bosan...
Pas rumah lagi di renovasi, dan temboknya belum dicat. Saya lihat tembok itu mirip papan tulis hitam. Saya gambar wajah perempuan dalam ukuran besar pakai kapur. Gambarnya cukup memuaskan saya, sayang gambar itu ga bisa dihapus... sampai berhari-hari.

Sewaktu bosan...
Di waktu nemenin orang tua belanja, saya bermain petak umpet bareng adik saya. Niatnya bikin kaget adik saya, dalam hitungan ketiga saya tarik baju-baju yang digantung sambil bilang “Baaaa”, justru saya yang kaget karena adik, dan orang tua saya udah ga ada di tempat. Itulah pengalaman saya hilang di mal.. Mba spg yang cantik mendekati dan ngomong lembut. Saya udah ga ingat apa yang dia bilang. Dia bawa saya ke meja informasi, dan nama saya pun diinformasikan “Anak bernama thya yang ditemukan di area sekitar...’ Tak lama keluarga saya datang...

Sewaktu bosan...
Duduk di bangku kelas 4 atau 5 SD, saya belajar 'berbisnis'. Saya banyak ngisi waktu luang menggambar. Terus gambar-gambar yang saya buat  itu saya jual ke teman-teman di sekolah. Waktu pulang ke rumah, saya buka lapak dagang jual penghapus-penghapus hadiah chiki, yang padahal punya kakak dan adik saya. Banyak anak-anak tetangga yang datang. Tapi karena terlalu ramai saya jadi takut sendiri dan akhirnya ningalin lapak masuk ke dalam rumah.
  
Sewaktu bosan...
Saya tau barbie saya udah cantik, tapi saya pengen dia makin cantik. Makanya saya ambil make up ibu saya untuk dandanin 'dia'.
                                                                                     
Itulah beberapa kegiatan di waktu luang yang pernah mewarnai masa kecil saya. Kalau di jaman saya udah ada smartphone, mungkin ga pernah ada pengalaman-pengalaman warna-warni itu. Semoga aja di luar sana, masih ada anak-anak yang bisa menikmati masa kecilnya sama seperti saya dulu, bukan tergantung sama si smartphone.



Tuesday, May 9, 2017

Waktu Yang Menyembuhkan Luka

1 comments

Tubuhnya seketika terasa membeku, langkah kakinya  terhenti, tatapannya terpaku memandang pria dari arah berlawanan dengannya. Pria yang dikenalnya itu pun terlihat kikuk dan terdiam. Terasa ada jeda selama beberapa saat.

Ia adalah pria yang paling membuatnya bahagia, paling dinanti, dan paling terbaik. Penggalan memori, tanpa diundang seperti terpampang di depan matanya. Muncul secara acak dari awal perkenalan hingga bertahun-tahun kemudian mengisi lembaran-lembaran hidupnya. Dari penggalan memori yang menyenangkan hingga melukai hatinya. Pria itu memang pernah menjadi yang paling terbaik untuknya. Tapi tidak untuk sekarang.

Pikirannya kembali ke tempat ia berada. Seulas senyum menghiasi wajah wanita itu sebelum melanjutkan langkah kakinya. Senyum perpisahan yang dulu tak pernah tersampaikan. Senyum lega yang menandakan bahwa ia sudah bisa memaafkan yang telah berlalu. Katanya, waktu bisa menyembuhkan luka.
***


Mencoba meluangkan waktu untuk menulis fiksi pendek lagi. Kangen menuangkan imajinasi :)

Monday, May 1, 2017

Kota

0 comments

Pepohonan rindang yang berdiri di kanan kiri jalan kini tergantikan tiang-tiang kokoh, yang entah akan dibangun apa. 
Persawahan hijau kini tergantikan mal besar dan perumahan. 
Warung-warung yang ada di sepanjang jalan kini tergantikan beberapa mini market. 
Jalan yang sepi kini dipenuhi kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. 
Udara yang sejuk kini terasa panas.
Waktu kini semakin tersita banyak. 
Dulu kupikir akan lebih baik jika menjadi kota.
Ada perasaan senang, tetapi sebagian besar diriku merasa jemu dengan pemandangan dan suasana seperti di ibu kota. 

Monday, April 24, 2017

Unlucky Loser

0 comments

Pertama kali lihat ‘Unlucky Loser’ saya tertarik dengan covernya yang mencolok. Tapi pas saya balik covernya, ternyata ga ada sinopsis. Hanya ada tulisan singkat ‘Mereka datang, berkencan, dan kalah!’ di kedua sisi cover novel yang saling berlawanan arah. Meski ga tahu novel ini bercerita mengenai apa, akhirnya saya tetap membelinya. Kalau bagus berarti saya beruntung. Kalau ceritanya membosankan, ya udah... hehe.


Novel duet dari penulis bernama Shinta Indrasari & Erry Santy ini setelah saya baca bergenre metropop. Untuk yang belum tahu, metropop adalah genre novel yang mengangkat tema cerita seputar kehidupan masyarakat perkotaan dengan gaya bahasa yang ringan (dan agak sedikit blak-blakan menurut saya).

Berhubung saya ga tahu mana yang bagian depan dan belakang dari buku ini, saya memilih membaca cerita yang ditulis Erry Santy lebih dulu. Tokoh utama ceritanya adalah seorang wanita bernama Sashiana Nardi Sanggulmaromas, yang biasa dipanggil Sashi. Wanita berusia 29 tahun ini berprofesi sebagai art director di perusahaan agensi bertaraf internasional, Britaliads. Sashi tinggal di Mayestik sementara keluarganya di Lebak Bulus. 

Sashi memiliki teman baik bernama Annika yang sudah dikenalnya sejak bangku SMA. Berbeda dengan Annika yang memiliki kekasih dan akan segera dilamar, Sashi masih hidup sendiri. Disinilah inti ceritanya, menceritakan mengenai kehidupan asmara Sashi dengan beberapa pria yang dekat dengannya.

Dimulai dari Andre, pria berusia 42 tahun yang sudah memiliki anak berusia 22 tahun tapi masih berstatus single; Prio, seorang PNS yang agak ‘aneh’ dan perhitungan; Radian, pemuda tampan yang perfeksionis, keras kepala, dan agak galak; Nino, si brondong yang sensitif, agak cengeng dan manja; dan Jodi, pengusaha kaya raya yang super romantis. Dari semua pria yang mampir ke dalam kehidupan Sashi, saya paling tertarik sama cerita Sashi dan Nino. Nino paling terlihat tulus dibanding tokoh pria lainnya, yah... walau kesensitifannya itulah yang bikin Sashi ragu. Biarpun belum punya pekerjaan, Nino udah ngasih hadiah Sashi cincin seharga 4 jutaan (Cincin yang ternyata dia beli dari pinjaman uang nyokapnya, dengan alasan untuk ganti ban mobil :D) . Nino emang cengeng dan manja, tapi di akhir hubungannya sama Sashi, ia gentle dengan menepati janji menghilang dari kehidupan Sashi.

Nah, untuk cerita yang ditulis Shinta Indrasari, tokoh utamanya adalah seorang pria bernama Indra Putro Rahardjo berumur 30 tahun. Indra bekerja di perusahaan desain grafis bernama DPI. Dia punya pacar cantik, baik, dan sangat amat perhatian bernama Ocha. Ocha jauh lebih muda dari Indra, udah lulus kuliah tapi belum dapat pekerjaan. Makanya si Ocha ini sering banget sms atau nelponin Indra ga pandang waktu. Di sinilah permasalahannya muncul. Awalnya Indra suka perhatian dari pacarnya ini, tapi lama kelamaan dia merasa terganggu. Di tengah-tengah hubungan mereka ini, ada Mel yang dikenalnya sewaktu clubbing. Mereka sering 'tidur bareng'  meski sama-sama punya kekasih. Selain itu, ada tokoh Maureen, wanita yang berusia 4 tahun lebih tua dari Indra, yang menyembunyikan kenyataan yang nantinya bikin Indra merasa tertipu.

O iya, berhubung novel ini udah diterbitin cukup lama, jadi harap dimaklum kalau tokoh-tokohnya masih mengandalkan sms dan telepon. Sebenernya metropop bukanlah genre favorit saya, tapi secara keseluruhan cerita ‘Unlucky Loser’ cukup menarik. Menggambarkan kehidupan kedua tokoh utama dengan segala intrik kisah cintanya. Tergantung selera sih.. Tapi saya ga suka dengan karakter kedua tokoh utama 'Unlucky Loser'. Udah itu aja :) 


Tuesday, April 18, 2017

Tersimpan di Dalam Hati

0 comments

Kenangan itu...
Momen manis yang tak kan terulang lagi,
Siapa yang tak mau merasakan dan mengalaminya berkali-kali,
Atau...
Menginginkan momen itu tetap kekal,
Tetapi mengulangnya adalah mustahil,
Meski mencoba untuk tetap sama,
Meski kembali ke tempat yang sama,
Dengan orang-orang yang sama,
Karena sebenarnya tak ada yang sama di balik kata ‘sama’,
Waktu berjalan dan semua bertransformasi,
Dalam sepersekian detik momen-momen indah itu...
Hanya berlalu secepat kilat di pelupuk mata,
Hanya tersimpan di dalam hati


Saturday, April 8, 2017

“Tentang Kamu”nya Tere Liye

1 comments

Dari buku-buku Tere Liye yang pernah saya baca, tema dan jalan ceritanya selalu bikin saya takjub, “Kok bisa sih si bapak Darwis ini kepikiran ide cerita seperti itu?” Tere Liye bisa menulis cerita tentang percintaan, hubungan keluarga, dongeng, politik, fantasi, dan untuk bukunya yang baru saya selesaikan, “Tentang kamu” berkaitan dengan harta warisan.




Halaman pertama novel “Tentang Kamu” dibuka dengan pengenalan tokohnya yang bernama Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara asal Indonesia yang bekerja di firma hukum Thompson & Co, yang berlokasi di kota London. Thompson & Co adalah firma hukum besar, tapi cukup tertutup dan menjauhi yang namanya publikasi. Memasuki bab kedua, Zaman mendapat tugas untuk menuntaskan dan menemukan ahli waris dari seorang wanita tua bernama Sri Ningsih, yang meninggal dengan tenang di panti jompo, di kota Paris.

Awalnya saya pikir Zaman jadi tokoh utama cerita. Ternyata perkiraan saya salah, Sri Ningsih inilah yang jadi tokoh utamanya. Peran Zaman dalam novel ini menelusuri kehidupan Sri Ningsih dari masa kecil hingga akhir hayatnya di panti jompo ‘La Cerisaie Maison de Retraite’. Dalam upaya untuk menemukan ahli waris Sri Ningsih, Zaman memulai pencariannya dengan mengunjungi tempat di mana Sri Ningsih dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya, Pulau Bungin. Dari seorang tetua bernama Ode, Zaman mengetahui kehidupan masa kecil Sri Ningsih. 

Sri Ningsih lahir dari pasangan bernama Rahayu dan Nugroho. Malang, ibunya meninggal sewaktu melahirkannya. Mengisi kekosongan Rahayu, Nugroho meminang Nusi Maratta. Dari pernikahan ini Sri Ningsih nantinya punya adik laki-laki tiri yang diberi nama Tilamuta. Banyak kejadian yang terjadi di Pulau Bungin. Singkat cerita saat Sri Ningsih berumur lima belas tahun, ia bersama Tilamuta meninggalkan pulau Bungin menuju madrasah di pedalaman Surakarta, Jawa Tengah. Di sana Sri Ningsih mendapatkan 2 orang sahabat bernama Nuraini dan Sulastri. Setelah Surakarta pun masih banyak tempat yang Zaman telesuri, dan juga orang-orang berkaitan dengan Sri Ningsih semasa hidup. Ada Chaterine, Aimee, Lucy, Franciszek, keluarga Khan, dan Hakan.

Bagaimana bisa seorang wanita yang tak memiliki keluarga, meninggalkan harta warisan yang bernilai sangat besar? Kenapa Sri Ningsih pergi berpindah-pindah tempat sampai tinggal di luar negeri? Jawabannya ada di penghujung halaman-halaman terakhir. Hehe.

Kesan saya setelah menyelesaikan “Tentang Kamu”, keren!!! Tapi ada bagian dari beberapa cerita dan penokohan karakter Sri Ningsih, menurut saya terlalu ‘fiksi’ dan ‘berlebihan’. Iya saya tahu ini buku fiksi tapi entah kenapa itu bikin ceritanya jadi terkesan maksa (dari sudut pandang saya). Selain itu, menurut saya kehidupan pribadi Zaman ga terlalu penting untuk dibahas (Ups Sorry). Sisanya jempolan deh!

Hal lain yang bikin saya suka banget novel-novel Tere Liye, adalah banyak kata-kata mutiara yang bertebaran. Ini dia beberapa di antaranya dari “Tentang Kamu”:

“Saat kita telah berhasil melupakan sesuatu, bukan berarti itu benar-benar telah lupa begitu saja, boleh jadi masih ada yang mengingatnya.” (p. 340)

“Maka, semoga besok beban di hati terangkat sedikit. Tidak usah banyak,  sedikit saja tidak apa. Besok, besoknya lagi, biarkan waktu menyiram semua kesedihan hingga hilang tak berbekas.” (p. 384)

“Cinta memang tidak perlu ditemukan, cinta-lah yang akan menemukan kita. (p.408)




Wednesday, March 29, 2017

Tekun Belajar

2 comments

Namanya Tekun Belajar. Ia adalah sahabat sekaligus teman sekelasku semasa SMA. Lulus sekolah, kami melanjutkan pendidikan di universitas berbeda. Setelah memperoleh gelar dari universitas, aku mendapat pekerjaan tidak jauh dari tempat tinggalku sedangkan Tekun memutuskan kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru sekolah di sana. Meskipun terpisah jarak, disibukkan dengan pekerjaan, serta membangun kehidupan keluarga masing-masing, namun kami masih tetap bersahabat sampai rambut kami telah memutih. Kami suka berbicara melalui telepon, memberikan kabar, membahas kehidupan masing-masing, anak-anak yang beranjak dewasa, memiliki cucu pertama, dan topik-topik menarik lainnya. Teknologi memudahkan siapapun untuk berkomunikasi, akan tetapi mengirim pesan melalui surat paling disukai Tekun. Ia semakin sering mengirimiku surat di masa pensiunnya. Menurutnya pesan akan lebih tersampaikan jika ditulis sendiri pengirimnya.

Selain itu, satu sampai dua kali dalam setahun kami menyediakan waktu luang mengunjungi rumah satu sama lain. Aku mengenal baik istri Tekun, Ita, yang juga merupakan teman sekelas kami semasa SMA. Awalnya ia tak tertarik pada Tekun, tapi lama kelamaan berkat kegigihan dan ketekunan seperti tercermin dari namanya, Ita menerima cinta Tekun. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki yang kini hidup mapan.

Hari ini aku sedang dalam perjalanan mengunjungi sahabatku Tekun di kampung halamannya. Masih dapat kuingat jelas hari ketika kami bertemu. Di hari pertama masuk sekolah, aku datang kesiangan beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Sesampainya di sana sudah tidak banyak tempat duduk tersisa. Hanya ada 2 bangku kosong di baris paling belakang, dan 3 bangku kosong di baris pertama. Dikarenakan mata minus, tak mungkin bagiku duduk di baris paling belakang. Akhirnya kupilih secara acak bangku yang kutempati di baris depan. Teman sebangku itulah yang kemudian menjadi sahabatku. Sesudah meletakkan tas dan duduk di bangkuku, ia langsung mengulurkan tangan padaku “Tekun Belajar.” Ucapnya. Aku tidak mengerti hal yang dibicarakannya. “Ha? Sekarang kita memang harus belajar.” Ia tertawa. “Bukan, maksudku namaku Tekun. Tekun Belajar.” “Namamu Tekun... Belajar? Oh... Aku Ergi.” Walaupun sebenarnya aku agak terkejut mendengar namanya yang unik, aku berusaha bersikap biasa saja dan membalas uluran tangannya mengajak bersalaman.
***

Ketika melewati koridor aku sempat mendengar beberapa anak perempuan membicarakan Tekun. Sebenarnya banyak anak lainnya yang membicarakan dirinya di belakangnya. Mereka menjadikan nama unik Tekun sebagai bahan tertawaan. “Tekun, kamu jangan lupa selalu tekun belajar. Jangan tekun bermain.” Ucap seorang teman yang menurutku jelas-jelas mengejek Tekun. Tekun cuma tersenyum mendengarnya. Aku heran dengan orang tuanya yang memberikan nama seperti itu kepadanya.

“Tekun, maaf kalau kamu berpikir aku terlalu ikut campur. Apakah tidak pernah terlintas dipikiranmu untuk mengganti nama?” Tanyaku hati-hati membuka percakapan. “Namaku? Kamu pikir namaku buruk?” “Bu-bukan begitu maksudku. “Namamu unik, tapi yah... agak aneh dijadikan sebuah nama.” Kemudian Tekun pun menceritakan kisah di balik namanya. “Kedua orang tuaku tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka hanya berbicara menggunakan bahasa daerah. Suatu hari paman, adik ayahku yang bekerja di kota, pulang ke kampung. Ia bercerita mengenai kehidupannya di kota dengan memasukkan beberapa kata dalam bahasa indonesia. Ayahku tertarik pada kata ‘tekun belajar’ yang diucapkan paman. Menurutnya dua kata itu terdengar indah, terlebih setelah mengetahui artinya. Saat ibuku mengandung, ayah berencana menggunakan kata ‘Tekun Belajar’ untuk menamai anak mereka jika yang lahir anak lelaki.” Selama beberapa saat Tekun terdiam sebelum melanjutkan ceritanya.

“Dulu di kampungku tidak ada sekolah yang berdiri.  Demi masa depanku, kedua orang tuaku meminta paman membawaku untuk bersekolah di kota. Ternyata teman-teman baru di kota justru menganggap namaku aneh. Mereka tertawa mendengar namaku...” Aku memotong kalimatnya. “Makanya sekarang ganti saja namamu. Bicarakan hal ini dengan kedua orang tuamu. Walaupun harus mengurus berkas-berkas, nantinya kamu bisa memiliki nama baru Kun.”

“Kamu belum mendengar kelanjutan ceritaku Gi. Awalnya aku sedih ditertawakan teman-temanku. Tetapi beberapa minggu kemudian tidak ada yang membicarakannya lagi. Mereka sudah terbiasa dengan namaku. Sekarang mungkin teman-teman di sekolah ini masih menertawakanku. Seminggu, sebulan, atau beberapa bulan lagi mereka pasti  bosan. Tak mungkin kedua orang tuaku berniat memberikan nama tidak baik. Terselip doa dan harapan mereka dalam nama yang diberikan kepadaku. Aku tak akan pernah mengganti namaku. Aku suka namaku Tekun Belajar.”

Setelah mendengar ucapan Tekun, aku mulai memahami perasaan dan cara pandangnya. “Maaf aku sudah berkata yang tidak-tidak. Kalau dipikir-pikir namamu juga membawa keuntungan.” Tekun mengernyitkan dahi tak mengerti. “Namamu yang unik membuat guru, dan teman-teman mudah mengingatmu. Kamu jadi populer.” Tekun tertawa mendengarnya. “Semoga aku tidak populer karena namaku saja.” Balasnya.


Sampai lulus sekolah Tekun memang tidak dikenal karena hanya keunikan namanya, tetapi juga kepintarannya. Ia selalu mendapat peringkat pertama dari kelas 1 sampai kelas 3. Teman-teman sekelas, junior, maupun senior di sekolah kami hampir semuanya mengenal si Tekun Belajar. Menurut Tekun, setiap orang yang memanggil namanya seperti pemberi semangat dan pengingat agar dirinya terus tekun dalam mencapai tujuannya.

Mengenang masa lalu kami, tak terasa aku sudah sampai di tempat Tekun. “Tekun Belajar, apa kabar? Aku ingin memberitahumu, cucuku bulan depan menikah. Sangat menyenangkan kalau kamu juga bisa berkumpul bersama kami...” Mataku mulai berair memandang tempat peristirahatan terakhir Tekun. Aku merasa sedih tak bisa lagi mendengar suara, dan menerima surat-surat berisi tulisan tangan Tekun setelah kematiannya dua tahun lalu.

***

Friday, March 10, 2017

Langit Yang Kusuka

0 comments

Bagiku langit sangat menakjubkan. Menjadi teman pagi, siang dan malam. 
Langit membuatku bisa menatap ke atas. Menyadari keindahan pesonanya. 

Kaya warna..  

Lihatlah warnanya di pagi hari. Biru muda ditemani cahaya dan hangatnya mentari. 
Lihatlah warnanya di siang hari.  Biru yang terlihat lebih kental dengan corak putih beraneka bentuk.
Lihatlah warnanya di sore hari, jika beruntung..  kamu bisa melihat perpaduan warna yang cantik.  Biru, ungu, merah, dan orange...
Lihatlah warnanya di malam hari. Hitam pekat. Tapi warna yang tak kalah indahnya.. Terlebih saat titik titik bercahaya menghiasinya. 

Warna langit memang berubah seiring berjalannya waktu, tapi dia tetaplah langit yang sama. Itulah yang kusuka. 




Friday, February 10, 2017

Kenangan Indah Yang Menyakitkan

1 comments

Katanya... setiap teringat kenangan indah, selalu bisa membuat yang mengalaminya merasa bahagia. Tapi kenyataannya ada yang terasa menyakitkan sama seperti kenangan buruk. Meski dalam level atau tingkat yang berbeda. Seandainya kenangan itu tak pernah tercipta atau... paling tidak, dapat terlupakan ketika terbangun layaknya bunga tidur. Mungkin akan lebih baik.

Yah.. kata ‘seandainya’ yang muncul saja sudah menandakan bahwa kenangan indah yang selalu melintas itu, tak lagi memunculkan perasaan yang sama seperti dulu. Inilah kenangan indah menyakitkan yang dimaksud. Kamu pernah merasakannya?

Pena yang diapit jari telunjuk dan jempolnya pun berhenti bergerak. “Sepertinya tak mungkin...” Gumamnya. Matanya mulai terasa berair. Ia menghela nafas, menarik garis bolak-balik di bagian kalimat ‘kamu pernah merasakannya?’ berulang kali, hingga warna hitam pekat menutupi semua bagian kalimat itu. Setelahnya, ia pun kembali menggerakkan penanya membentuk huruf demi huruf di atas permukaan kertas.

Kenangan yang begitu berarti untuk satu pihak, sementara yang lain acuh begitu saja seakan tak pernah ada yang terjadi. Inilah kenangan indah menyakitkan yang dimaksud. Kenangan yang membuat dada terasa sesak ketika datang atau melewati tempat yang sama. Inilah kenangan indah menyakitkan yang dimaksud.

Gerakan tangannya kembali terhenti. Ia merenung sejenak. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan kata-kata yang ditulisnya.

Kuharap kamu tak pernah merasakannya...
***

16:07 WIB, 10-2-2017. Thya

Jaringan internet lagi bermasalah, so saya memutuskan untuk menuliskan cerita fiksi super pendek ini sore tadi. I hope you like it :)

Sunday, January 1, 2017

Halo 2017

0 comments

Sama seperti tahun-tahun-tahun-tahun-tahun sebelumnya, di malam tahun baru, saya tiduran dengan nyaman di kamar tercinta sambil berkali-kali gonta ganti saluran tv. Pas sore-sorenya, mama saya tiba-tiba ngasih tau kalo adik saya ga pulang ke rumah karena dia sama temennya mau liat kembang api di Monas. Saya pun ketawa, "Ap-hah? cuma liat kembang api doang?"
HAHAHAHAHAHAHAHA
HA
HA
HA....
Dalam hati... Pengen juga dongs ada yang ngajakin liat kembang api :"

Untuk menghilangkan kebosanan dan kesedihan, sekitar jam 9 malam, saya pun memutuskan untuk olahraga *kurang gaya apa coba. Ceritanya lari di treadmill, tapi baru beberapa menit lari, udah ngosngosan. Saya pun memilih berjalan cepat, eh tapi baru 2 menit kaki saya udah letih, saya pun memilih berjalan lambat... Sampai akhirnya 5 menit kemudian saya sudahi lari-lari itu dan lebih memilih duduk manis sambil gonta ganti saluran tv lagi...


Balik ke masalah resolusi di tahun 2017. Emmm sebelum menceritakannya. Saya ingin mengulas sedikit kehidupan saya di tahun 2016 kemarin. Ada hal-hal yang menyedihkan,  seperti di tahun ini saya kehilangan banyak kucing peliharaan... Selebihnya,  lebih banyak hal menyenangkan terjadi karena beberapa resolusi saya tercapai di tahun ini :)
Beberapa di antaranya,  saya berkenalan dan berteman dengan orang-orang menyenangkan,  mendapat banyak ilmu dari penulis-penulis keren, cukup produktif mengerjakan hobi menggambar di waktu luang, berkumpul dengan teman-teman lama, jumlah postingan saya di blog ini mengalami peningkatan dari tahun, dan bulan-bulan sebelumnya. Yeaaay *bersorak gembira

Untuk tahun 2017... masih ada resolusi dari tahun-tahun kemarin yang mengisi daftar tahun 2017 ini. Ga mau saya ceritain semua sih, cuma beberapa aja :)

Lebih Fit
Fit yang saya maksud disini, selain sehat juga punya berat badan ideal. Saya rasa untuk mencapai berat ideal itu, sesuai dengan tinggi saya, saya paling tidak harus mengurangi 5 kg *sotoy. Sebenernya saya ga terlalu suka makan banyak *seriusan, tapi sayangnya saya sangat amat suka nyemil, seperti permen, snack, kue, coklat, es krim, dll. Kalo lagi di rumah, asal ada bunyi tektektek tukang apa aja saya lari-lari keluar. Alhasil, kebanyakan nyemal nyemil bikin berat badan saya naik...
Bagian wajah sayalah yang paling sering dapat komentar teman-teman dan keluarga. "Pipinya tembem banget" "Pipi lo bulat" "Pipinya kaya bakpao deh" gimana ga sedih coba disebutin begitu... Yang bikin makin sedih, pas ngaca ngomong sama diri sendiri "Bener kata mereka, kenapa lemak-lemak ini nangkring di pipiku..." So, untuk merealisasikan resolusi ini, selain mengurangi cemal cemil, saya juga mau rajin olahraga. Dimulai olahraga ringan, kaya jalan-jalan kecil sampe nantinya olahraga berat, kaya angkat beban. ha-ha...

Belajar bikin sketsa bangunan
Di awal bulan Desember kemarin, sewaktu ketemuan sama dua temen lama, yang sama-sama merupakan arsitek. Mereka ngajakin saya untuk dateng sebentar ke kota tua ngikutin kegiatan komunitas sketching gitu. Berhubung penasaran pengen liat secara langsung orang-orang bikin sketsa, saya pun mengiyakan. Ternyata... KEREN! Mereka bikin sketsa tanpa pakai pensil, langsung pake sejenis drawing pen. Mereka bikin sketsa bangunan, dan suasana kota tua yang keren bangets deh pokoknya. Bikin saya jadi iri... 
Tiba-tiba di tengah lamunan, teman saya ngajakin saya untuk nyoba juga. Pakai alasan bukan anak arsitek dan ga bisa gambar bangunan, saya menolak. Tapi pas tahu salah satu anggota komunitas itu sendiri bukan anak arsitek, saya kagum. Saya pun berbicara dalam hati "Kalau dia aja bisa, kenapa saya enggak." *ceritanya sotoy lagi. Saya pun mengeluarkan sketchbook. Ga mau keliatan sombong, saya ngeluarin pensil aja *padahal emang ga yakin pake drawing pen langsung :". Saya milih objek Museum Fatahillah.
Ga tanggung-tanggung.. ketika beberapa orang di sana milih bikin sketsa bagian atapnya, setengah bagian bangunan, saya yang awam ini milih buat gambar museum itu secara keseluruhan! Bat bet bat bet gores sana sini. Hasilnya... gambar saya kaya gambar anak TK. Sedih.... 
Satu hal yang saya pelajari saat itu, untuk bisa bikin sketsa yang bagus, semua butuh proses :) Oleh karena itu, tahun ini saya berharap bisa banyak belajar bikin sketsa bangunan! Semoga walau sketsa saya ga sebagus anggota komunitas itu, nantinya sketsa saya ga kaya gambar anak TK lagi.

  
Baca 24 Buku
24 buku adalah jumlah minimum yang saya harap dapat saya baca dalam satu tahun ini. Tahun sebelumnya, saya menargetkan cukup banyak, tetapi kenyataannya setengahnya aja ga kecapai. Tahun ini saya berharap bisa membaca paling tidak 2 buku setiap bulannya, entah itu fiksi atau sejenis buku self-improvement.

Itulah segelintir resolusi saya di tahun 2017, masih banyak resolusi lain yang ga bisa saya sebutkan satu persatu di sini berhubung list-nya cukup panjang~

Btw saya harap di luar urusan pekerjaan, saya bisa lebih aktif menulis. Salah satunya dengan lebih meningkatkan jumlah postingan di blog ini. Tadinya saya pikir untuk apa saya masih ngurus inih blog, siapa juga yang baca. Tapi begitu melihat statistik visitor, ternyata masih ada yang berkunjung (mungkin tanpa sengaja jadi nyasar ke blog thya yang ga jelas ini :( ). Di luar itu, saya menganggap blog ini sebagai tempat kedua menyalurkan pikiran saya, setelah coretan tulisan tangan yang sifatnya lebih pribadi di buku jurnal. 

Selamat Tahun Baru! :))