Saturday, January 16, 2016

Perjalanan Berkesenian Astari Rasyid



Perempuan bernama lengkap Sri Astari Rasyid merupakan seorang seniman kontemporer yang dikenal luas para pencinta seni melalui karyanya bertemakan sosial, perempuan, dan budaya jawa. Astari menyatukan unsur tradisional, budaya, dan keindahan dengan semangat kekinian melalui karyanya. Selain menjadi seorang seniman, ia juga menjadi pengajar di perguruan tinggi serta aktif dalam kegiatan sosial yang berhubungan dengan kesenian.
            Pada masa kanak-kanak, Astari pernah tinggal di India dan Burma dikarenakan pekerjaan ayahnya yang merupakan seorang atase militer. Meskipun merasakan perbedaan kultural dari negara yang berbeda, namun tidak membuatnya lupa akan kebudayaan dan bahasa daerahnya ketika kembali ke tanah air. Hal ini tidak terlepas dari peran kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan nilai-nilai moral serta budaya jawa dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak memanjakan Astari dan saudara-saudaranya dengan materi berlebihan dan pada saat melakukan suatu hal yang baik pun, mereka tidak pernah memuji secara langsung. Mereka mengajarkan bahwa seorang gadis harus menyenangkan, tersenyum dan memiliki perilaku yang baik, serta terlihat menarik, bahkan jika ia merasa sengsara. Kedua orang tuanya ingin agar anak-anaknya hidup mandiri dan memahami arti kerja keras.
            Sejak kecil Astari menyukai dunia gambar dan juga memiliki rasa ingin tahu yang besar. Salah satu contohnya, ketika masih duduk dibangku sekolah ia selalu penasaran dengan makna dari perayaan  hari Kartini serta sosok R.A Kartini yang sangat dihormati. Begitu lebih dewasa barulah ia mengerti kehebatan dari sosok di balik hari kartini itu. Selain ketertarikan akan kesenian, sebenarnya Astari juga gemar memembaca buku yang terus berlanjut hingga saat ini. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku cerita ketika anak-anak seusianya lebih suka bermain. Buku favoritnya adalah buku mengenai kesenian, psikologi, filsafat, biografi, ekonomi dan sosial. Ia tertarik dengan tokoh perempuan seperti R.A Kartini, Margareth Teacher dan Benazir Bhutto. Membaca buku memberikan wawasan luas dan buku-buku tersebut banyak mempengaruhi dirinya dalam berkarya.
            Beranjak dewasa, Astari tidak langsung berkecimpung dalam dunia seni. Sebelumnya, Ia pernah menjalani profesi sebagai seorang sekretaris. Namun, ia hanya mampu bertahan bekerja menjadi sekretaris selama dua bulan karena menyadari profesi itu tidak sesuai dengan minatnya. Kemudian ia beralih profesi menjadi reporter mode sekaligus editor majalah. Ia memilih profesi tersebut karena merasa dekat dengan dunia jurnalistik yang berhubungan dengan mode, busana, dan keindahan. Selain itu, di masa kecil ia sering melihat ibunya yang kreatif menjahit pakaian untuk dirinya dan saudara-saudaranya. Profesi ini dijalani cukup lama sampai akhirnya memutuskan untuk menikah.
            Di sela-sela waktu luang sebagai ibu rumah tangga, Astari sering bersosialisasi dan mengasah kreatifitas dengan terlibat dalam bidang pendidikan, mempromosikan kesenian, serta mengorganisir acara seni sehingga memiliki jaringan pertemanan yang luas. Ditengah-tengah kesibukannya, ia masih merasakan ada perasaan kosong di dalam dirinya. Hal ini kemudian menyebabkannya sering menghabiskan waktu dengan berkutat kembali pada hobi menggambar. Kegiatan yang selalu membuat dirinya bahagia dan tenang.
            Menandakan keseriusan akan hobinya itu, ia mulai mengikuti kelas melukis untuk mempelajari seni lebih mendalam. Bahkan dalam beberapa kesempatan mempelajari seni di universitas ketika menemani suaminya dalam rangka perjalanan bisnis di luar negeri. Ia pernah mempelajari seni di beberapa universitas di Amerika Serikat maupun Inggris, yakni fashion design di Lucy Clayton School of Fashion, London, Inggris, Advanced Painting di Universitas Minnesota, Amerika Serikat dan kembali ke London, Inggris mempelajari Painting Course di Royal College Art.
            Setelah menjalani dan memahami kesenian lebih mendalam, Astari bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis profesional dan menyelenggarakan pameran solo. Ia ingin agar karyanya dapat diakui serta dinikmati masyarakat, terutama pecinta seni seperti dirinya. Pada tahun 1999, impiannya untuk menyelenggarakan pameran solo menjadi kenyataan. Sampai saat ini ia telah banyak terlibat dalam berbagai pameran. Tidak hanya di Indonesia, karyanya sudah sampai dipamerkan pada pameran mancanegara, antara lain pameran solo Vanessa Art Link, Beijing, Cina pada tahun 2008, pameran grup Expression Terroriste, Galerie Loft, Paris pada tahun 2005, Beyond the East, Macro, Museo d’Arte Contemporanea, Roma, Italia pada tahun 2011, Art Stage Singapore, Indonesian Pavilion pada tahun 2012, dan Arsenale, Venice Biennale, Italia pada tahun 2013. Pada pameran yang diselenggarakan di Italia ini, Indonesia pertama kalinya ikut serta  dengan diwakili lima seniman yang salah satunya adalah Astari Rasyid.
            Pada saat menghasilkan karya seni, Astari sering menghabiskan waktu seorang diri di studio pribadinya. Baginya, perlatan seni, karya yang terpajang, dan buku-buku adalah dunianya. Meskipun bukan seorang aktivis feminis, Ia seringkali mengeksplorasi tema perempuan dalam karya-karyanya. Perempuan, unsur tradisional, perpaduan warna yang gelap menjadi ciri khas lukisannya. Karyanya sering menunjukkan rangkaian potret diri sebagai objek lukisan. Dalam karya yang berjudul “Calling for Petruk”, Astari melukiskan dirinya dalam karakter wayang bernama Petruk. Ia menjadi Petruk versi perempuan mengenakan pakaian kebaya yang kancingnya dilepas. Dibalik kebaya, ia mengenakan pakaian seperti Superman, namun dengan tulisan ‘P’ untuk Petruk. Karya ini menunjukkan perpaduan antara sisi maskulin tradisional jawa dan barat. Dalam lukisan yang berjudul “Petruk Can Do Everything Superman Can Do”, Astari masih digambarkan sebagai tokoh Petruk versi perempuan. Ia tengah membopong Spiderman, si manusia super. Padahal biasanya Spidermanlah yang menyelamatkan dan membopong perempuan.
            Dalam lukisan lain yang berjudul “Formula #1 Perempuan Kuat” Astari melukiskan dirinya sebagai seorang perempuan yang terlihat gagah berdiri tegak dengan mengenakan pakaian tradisional pria jawa, yaitu beskap dan blankon. Kemudian, dalam karya yang berjudul “Solitaire” Astari digambarkan bersayap mengenakan busana berwarna merah berdiri tegak tatapan lurus ke depan dengan kedua tangan di depan memegang buket bunga. Latar lukisan sangat detail dengan latar menghadap ke luar jendela. Menampakkan langit berawan kekuningan disertai pesawat yang tengah terbang.
            Berbeda dari lukisannya yang umumnya menampilkan seorang perempuan. Pada karya yang berjudul “T-Time With Frida” (dibaca Tea Time). Astari menampilkan potret dirinya bersama Frida Kahlo, pelukis ternama asal Meksiko yang terkenal dengan lukisan potret diri. Kahlo sendiri sudah meninggal pada tahun 1954. Mereka berdua berasal dari negara dan era yang berbeda. Akan tetapi mereka memiliki kesamaan dalam hal ketertarikan akan budaya dan pengalaman pribadi yang dikaitkan dengan karya mereka. Di dalam lukisan, Astari menggambarkan dirinya dan Kahlo tengah duduk bersama sambil berpegangan tangan. Lukisan yang sangat unik karena Astari yang berasal dari Jawa menggunakan pakaian perempuan meksiko, dan sebaliknya Kahlo yang berasal dari Meksiko mengenakan pakaian tradisional jawa. Astari melalui lukisannya ingin mengungkapkan bahwa tradisi dalam kehidupan tradisional dan modern itu sama.
            Selain lukisan Astari juga membuat karya seni berupa patung dan seni instalasi. Pada pameran Art for Cancer yang diselenggarakan di  Museum Seni Rupa dan Keramik, ia  menampilkan karya yang berjudul "Pendopo: Dancing the Wild Seas" berupa tujuh wayang yang terlihat anggun dan cantik mengenakan pakaian tradisional perempuan jawa, kebaya. Kebaya yang menurutnya merupakan simbol integritas perempuan. Dalam karya lain yang berjudul “Prettified Cage”, kebaya kembali menjadi objek seninya. Kebaya yang merupakan pakaian tradisional dapat dibuat Astari menjadi dikenal secara global. Karya yang terbuat dari Stainless steel ini memperlihatkan sisi elegan dan modern perempuan dengan memadukan warna putih keperakan senada untuk atasan dan bawahan. Karya unik lain yang masih mengangkat masalah perempuan, berjudul “Honey I’m Home” turut serta dalam pameran patung kontemporer Indonesia bertemakan Ekspansi. Karya ini berupa perempuan dalam balutan kebaya putih duduk dan terperangkap dalam ruangan berjeruji berbentuk seperti tas yang diberi nama home.
            Meskipun lebih banyak mengangkat isu perempuan, tidak semua karyanya berpusat pada tema tersebut. Seperti pada karya yang berjudul “Eling” yang turut serta pada pameran seni logam di Jakarta pada tahun 2013. Ia mengangkat tema sosial. Begitu melihatnya, para pengunjung akan merasa penasaran dengan makna dibalik judul dan bentuk karyanya yang menyerupai untaian tasbih besar disertai dengan bulir tengkorak dengan berhiaskan beberapa kuntum bunga di atas kepala tengkorak itu. Nama eling sendiri berasal dari bahasa jawa, yang berarti ingat. Tasbih sendiri biasa digunakan ketika berdoa. Makna dari bulir kepala tengkorak sebagai simbol pengingat bahwa suatu saat nanti setiap manusia akan meninggalkan kenikmatan dunia. Sebagai tanda pengingat juga kepada para koruptor untuk menggunakan hati nurani sebelum bertindak. Karya lain Astari yang dinamakan “Recovery Prayer Beads” masih menggunakan konsep dan bentuk yang sama berupa untaian tasbih, namun dengan bahan, ukuran dan warna yang berbeda. Pada dasarnya ia selalu memberikan pesan mendalam melalui media seni.
            Di luar keindahan karya seninya, Astari selalu terlihat cantik dan modis dalam berbagai kesempatan. Selain pameran lukisan yang tidak terlewatkan untuk dihadiri, ia juga terlihat menghadiri pagelaran busana. Seperti kebaya, ia juga memiliki ketertarian pada batik. Baginya, batik merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Ia sangat mendukung batik Indonesia yang menurutnya indah dan merupakan identitas bangsa.
            Perempuan cerdas, berbakat, modern, mandiri tidak ingin tergantung dengan siapapun, serta berjiwa sosial itulah Astari Rasyid. Ia ingin dikenal atas siapa dirinya dengan mengekspresikan pandangannya melalui seni. Seni yang terinspirasi dari pengalaman hidup, gaya hidup, dan isu sosial. Kecintaannya kepada seni begitu besar. Seperti  yang pernah dikatakannya dalam sebuah wawancara, seni itu jujur dan berkesenian tidak akan mati atau tenggelam dalam situasi sesulit apapun.
             


REFERENSI:

Bianpoen, Carla. 2001. ASTARI RASJID: Highlighting the Goddess within WomenThe Indonesia Tatler.


Saya menulisnya di tahun 2014, tapi baru di posting sekarang :)

0 comments:

Post a Comment