Perempuan bernama
lengkap Sri Astari Rasyid merupakan seorang seniman kontemporer yang dikenal
luas para pencinta seni melalui karyanya bertemakan sosial, perempuan, dan
budaya jawa. Astari menyatukan unsur tradisional, budaya, dan keindahan dengan
semangat kekinian melalui karyanya. Selain menjadi seorang seniman, ia juga menjadi
pengajar di perguruan tinggi serta aktif dalam kegiatan sosial yang berhubungan
dengan kesenian.
Pada masa kanak-kanak, Astari pernah
tinggal di India dan Burma dikarenakan pekerjaan ayahnya yang merupakan seorang
atase militer. Meskipun merasakan perbedaan kultural dari negara yang berbeda,
namun tidak membuatnya lupa akan kebudayaan dan bahasa daerahnya ketika kembali
ke tanah air. Hal ini tidak terlepas dari peran kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan
nilai-nilai moral serta budaya jawa dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak memanjakan
Astari dan saudara-saudaranya dengan materi berlebihan dan pada saat melakukan
suatu hal yang baik pun, mereka tidak pernah memuji secara langsung. Mereka
mengajarkan bahwa seorang gadis harus menyenangkan, tersenyum dan memiliki
perilaku yang baik, serta terlihat menarik, bahkan jika ia merasa sengsara. Kedua
orang tuanya ingin agar anak-anaknya hidup mandiri dan memahami arti kerja
keras.
Sejak kecil Astari menyukai dunia gambar dan juga memiliki rasa ingin tahu yang
besar. Salah satu contohnya, ketika masih duduk dibangku sekolah ia selalu
penasaran dengan makna dari perayaan hari Kartini serta sosok R.A Kartini
yang sangat dihormati. Begitu lebih dewasa barulah ia mengerti kehebatan dari sosok
di balik hari kartini itu. Selain ketertarikan akan kesenian, sebenarnya Astari
juga gemar memembaca buku yang terus berlanjut hingga saat ini. Ia bisa
menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku cerita ketika anak-anak
seusianya lebih suka bermain. Buku favoritnya adalah buku mengenai kesenian,
psikologi, filsafat, biografi, ekonomi dan sosial. Ia tertarik dengan tokoh perempuan
seperti R.A Kartini, Margareth Teacher dan Benazir Bhutto. Membaca buku
memberikan wawasan luas dan buku-buku tersebut banyak mempengaruhi dirinya
dalam berkarya.
Beranjak dewasa, Astari tidak
langsung berkecimpung dalam dunia seni. Sebelumnya, Ia pernah menjalani profesi
sebagai seorang sekretaris. Namun, ia hanya mampu bertahan bekerja menjadi
sekretaris selama dua bulan karena menyadari profesi itu tidak sesuai dengan
minatnya. Kemudian ia beralih profesi menjadi reporter mode sekaligus editor
majalah. Ia memilih profesi tersebut karena merasa dekat dengan dunia
jurnalistik yang berhubungan dengan mode, busana, dan keindahan. Selain itu, di
masa kecil ia sering melihat ibunya yang kreatif menjahit pakaian untuk dirinya
dan saudara-saudaranya. Profesi ini dijalani cukup lama sampai akhirnya
memutuskan untuk menikah.
Di sela-sela waktu luang sebagai ibu
rumah tangga, Astari sering bersosialisasi dan mengasah kreatifitas dengan
terlibat dalam bidang pendidikan, mempromosikan kesenian, serta
mengorganisir acara seni sehingga memiliki jaringan pertemanan yang luas. Ditengah-tengah
kesibukannya, ia masih merasakan ada perasaan kosong di dalam dirinya. Hal ini
kemudian menyebabkannya sering menghabiskan waktu dengan berkutat kembali pada
hobi menggambar. Kegiatan yang selalu membuat dirinya bahagia dan tenang.
Menandakan keseriusan akan hobinya
itu, ia mulai mengikuti kelas melukis untuk mempelajari seni lebih mendalam.
Bahkan dalam beberapa kesempatan mempelajari seni di universitas ketika menemani
suaminya dalam rangka perjalanan bisnis di luar negeri. Ia pernah mempelajari
seni di beberapa universitas di Amerika Serikat maupun Inggris, yakni fashion
design di Lucy Clayton School of Fashion, London, Inggris, Advanced
Painting di Universitas Minnesota, Amerika Serikat dan kembali ke London,
Inggris mempelajari Painting Course di Royal College Art.
Setelah menjalani dan memahami kesenian lebih mendalam, Astari bercita-cita untuk
menjadi seorang pelukis profesional dan menyelenggarakan pameran solo. Ia ingin
agar karyanya dapat diakui serta dinikmati masyarakat, terutama pecinta seni
seperti dirinya. Pada tahun 1999, impiannya untuk menyelenggarakan pameran solo
menjadi kenyataan. Sampai saat ini ia telah banyak terlibat dalam berbagai pameran. Tidak
hanya di Indonesia, karyanya sudah sampai dipamerkan pada pameran mancanegara,
antara lain pameran solo Vanessa Art Link, Beijing, Cina pada tahun 2008,
pameran grup Expression Terroriste, Galerie Loft, Paris pada tahun 2005, Beyond
the East, Macro, Museo d’Arte Contemporanea, Roma, Italia pada tahun 2011, Art
Stage Singapore, Indonesian Pavilion pada tahun 2012, dan Arsenale, Venice
Biennale, Italia pada tahun 2013. Pada pameran yang diselenggarakan di Italia ini,
Indonesia pertama kalinya ikut serta dengan diwakili lima seniman yang
salah satunya adalah Astari Rasyid.
Pada saat menghasilkan karya seni, Astari sering menghabiskan waktu seorang
diri di studio pribadinya. Baginya, perlatan seni, karya yang terpajang, dan
buku-buku adalah dunianya. Meskipun bukan seorang aktivis feminis, Ia seringkali
mengeksplorasi tema perempuan dalam karya-karyanya. Perempuan, unsur
tradisional, perpaduan warna yang gelap menjadi ciri khas lukisannya. Karyanya sering
menunjukkan rangkaian potret diri sebagai objek lukisan. Dalam karya yang
berjudul “Calling for Petruk”, Astari melukiskan dirinya dalam karakter wayang
bernama Petruk. Ia menjadi Petruk versi perempuan mengenakan pakaian kebaya
yang kancingnya dilepas. Dibalik kebaya, ia mengenakan pakaian seperti Superman,
namun dengan tulisan ‘P’ untuk Petruk. Karya ini menunjukkan perpaduan antara
sisi maskulin tradisional jawa dan barat. Dalam lukisan yang berjudul “Petruk
Can Do Everything Superman Can Do”, Astari masih digambarkan sebagai tokoh Petruk
versi perempuan. Ia tengah membopong Spiderman, si manusia super. Padahal biasanya
Spidermanlah yang menyelamatkan dan membopong perempuan.
Dalam lukisan lain yang berjudul
“Formula #1 Perempuan Kuat” Astari melukiskan dirinya sebagai seorang perempuan
yang terlihat gagah berdiri tegak dengan mengenakan pakaian tradisional pria
jawa, yaitu beskap dan blankon. Kemudian, dalam karya yang berjudul “Solitaire”
Astari digambarkan bersayap mengenakan busana berwarna merah berdiri tegak
tatapan lurus ke depan dengan kedua tangan di depan memegang buket bunga. Latar
lukisan sangat detail dengan latar menghadap ke luar jendela. Menampakkan
langit berawan kekuningan disertai pesawat yang tengah terbang.
Berbeda dari lukisannya yang umumnya
menampilkan seorang perempuan. Pada karya yang berjudul “T-Time With Frida” (dibaca
Tea Time). Astari menampilkan potret dirinya bersama Frida Kahlo, pelukis
ternama asal Meksiko yang terkenal dengan lukisan potret diri. Kahlo sendiri sudah
meninggal pada tahun 1954. Mereka berdua berasal dari negara dan era yang
berbeda. Akan tetapi mereka memiliki kesamaan dalam hal ketertarikan akan
budaya dan pengalaman pribadi yang dikaitkan dengan karya mereka. Di dalam
lukisan, Astari menggambarkan dirinya dan Kahlo tengah duduk bersama sambil
berpegangan tangan. Lukisan yang sangat unik karena Astari yang berasal dari
Jawa menggunakan pakaian perempuan meksiko, dan sebaliknya Kahlo yang berasal dari
Meksiko mengenakan pakaian tradisional jawa. Astari melalui lukisannya ingin
mengungkapkan bahwa tradisi dalam kehidupan tradisional dan modern itu sama.
Selain lukisan Astari juga membuat karya seni berupa patung dan seni instalasi.
Pada pameran Art for Cancer yang diselenggarakan di Museum Seni Rupa dan
Keramik, ia menampilkan karya yang
berjudul "Pendopo: Dancing the Wild Seas" berupa tujuh wayang yang
terlihat anggun dan cantik mengenakan pakaian tradisional perempuan jawa,
kebaya. Kebaya yang menurutnya merupakan simbol integritas perempuan. Dalam
karya lain yang berjudul “Prettified Cage”, kebaya kembali menjadi objek
seninya. Kebaya yang merupakan pakaian tradisional dapat dibuat Astari menjadi dikenal
secara global. Karya yang terbuat dari Stainless steel ini memperlihatkan sisi
elegan dan modern perempuan dengan memadukan warna putih keperakan senada untuk
atasan dan bawahan. Karya unik lain yang masih mengangkat masalah perempuan,
berjudul “Honey I’m Home” turut serta dalam pameran patung kontemporer
Indonesia bertemakan Ekspansi. Karya ini berupa perempuan dalam balutan kebaya
putih duduk dan terperangkap dalam ruangan berjeruji berbentuk seperti tas yang
diberi nama home.
Meskipun lebih banyak mengangkat isu
perempuan, tidak semua karyanya berpusat pada tema tersebut. Seperti pada karya
yang berjudul “Eling” yang turut serta pada pameran seni logam di Jakarta pada
tahun 2013. Ia mengangkat tema sosial. Begitu melihatnya, para pengunjung akan
merasa penasaran dengan makna dibalik judul dan bentuk karyanya yang menyerupai
untaian tasbih besar disertai dengan bulir tengkorak dengan berhiaskan beberapa
kuntum bunga di atas kepala tengkorak itu. Nama eling sendiri berasal dari
bahasa jawa, yang berarti ingat. Tasbih sendiri biasa digunakan ketika berdoa. Makna
dari bulir kepala tengkorak sebagai simbol pengingat bahwa suatu saat nanti
setiap manusia akan meninggalkan kenikmatan dunia. Sebagai tanda pengingat juga
kepada para koruptor untuk menggunakan hati nurani sebelum bertindak. Karya
lain Astari yang dinamakan “Recovery Prayer Beads” masih menggunakan konsep dan
bentuk yang sama berupa untaian tasbih, namun dengan bahan, ukuran dan warna
yang berbeda. Pada dasarnya ia selalu memberikan pesan mendalam melalui media seni.
Di luar keindahan karya seninya, Astari
selalu terlihat cantik dan modis dalam berbagai kesempatan. Selain pameran
lukisan yang tidak terlewatkan untuk dihadiri, ia juga terlihat menghadiri
pagelaran busana. Seperti kebaya, ia juga memiliki ketertarian pada batik.
Baginya, batik merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan. Ia sangat mendukung batik Indonesia yang menurutnya
indah dan merupakan identitas bangsa.
Perempuan cerdas, berbakat, modern,
mandiri tidak ingin tergantung dengan siapapun, serta berjiwa sosial itulah
Astari Rasyid. Ia ingin dikenal atas siapa dirinya dengan mengekspresikan
pandangannya melalui seni. Seni yang terinspirasi dari pengalaman hidup, gaya
hidup, dan isu sosial. Kecintaannya kepada seni begitu besar. Seperti
yang pernah dikatakannya dalam sebuah wawancara, seni itu jujur dan
berkesenian tidak akan mati atau tenggelam dalam situasi sesulit apapun.
REFERENSI:
Bianpoen, Carla. 2001.
ASTARI RASJID: Highlighting the Goddess
within Women. The Indonesia Tatler.
Saya menulisnya di tahun 2014, tapi baru di posting sekarang :)
0 comments:
Post a Comment